BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah sistem pemerintahan demokrasi akan terwujud dengan baik jika di dukung oleh ketiga unsure dalam sebuah Negara, yakni adanya kemauan politik dari negara [political state], adanya komitmen kuat dari masyarakat politik [political society], dan adanya masyarakat madani [civil society] yang kuat dan mandiri.
Revitalisasi konsep dan penguatan gerakan masyarakat madani kembali menjadi tema diskursus publik pada akhir dekade 1980-an sebagai alternatif utama bagi pembentukan kondisi transisi menuju demokrasi. Masyarakat madani yan di maksudkan disini adalah, civil society, yang dalam bahasa arab dikenal dengan istilah al-mujtama’al-madani.
Isitilah civil society pertama kali di kemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis yang sampai saat ini mengalami perkembangan pengertian. Pengertian masyarakat madani [civil society] dalam konteks Indonesia mendapat pemaknaan yang tidak sama. Sebagian besar para ahli, seperti diakui Azyumrdi Azra, memahaminya dengan bertitik tolak dari kerangka dan dan pengalaman Eropa Timur dan Amerika Latin, yang masih memandang masyarakat madani berada dalam posisi oposisional vis-à-vis Negara, dan bahkan sebagai alternatife bagi negara.
Pandangan yang misleading terhadap masyarkat madani ini, kritik Azra, seharusnya di arahkan kepada sebuah pandangan yang tidak berada dalam posisi oposisional terhadap negara, apalagi menjadi alternatif bagi negara. Sebaliknya masyarakat madani seharusnya menjalin hubungan yang lebih kooperatif daripada hubungan konfliktual dengan negara . Karena bagaimanapun negara tetapalah sebagai sebuah institusi dan kekuatan krusial bagi reformasi politik dan ekonomi. Dengan demikian, masyarakat madani bukanlah sebagai pengganti pemerintah, tetatpi juga bukan teman akrab bagi kekuasaan negara.
Selaras dengan argument Azra, Robert Hefner juga mengkritik pandangan masyarakat madani dalam kerangka oposisional di atas. Ia berpendapat bahwa hal itu merupakan “pelajaran pahit dan menyakitkan tentang masyarakat madani”, karena sesungguhnya tidak ada zero sum opposition between civil society and the state. Sebaliknya, masyarakat madani memerlukan negara yang kuat sekaligus self limiting, dalam pengertian tidak memonopoli seluruh kekuasaan masyarkat dan sekaligus menguasai seluruh sumber daya manusia.
Sebagaimana konsep demokrasi, konsep civil society modern juga dari barat. Namun jika di kaji secara mendalam, sebenarnya terdapat kesamaan konseptual antara demokrasi dan civil society pemikiran politik Filosof Muslim al-Farabi dalam kitabnya al-siyasab al-madaniah. Ia juga menggunakan istilah madani [civil] untuk mensifati politik dalam sebuah negara, meskipun pengertiannya tidak sama persis dengan istilah masyarakat madani pada masa kini.
Menurut doktrin Islam, umat islam di wajibkan mematuhi ketentuan-ketentuan Allah, Rasul-Nya, dan para pemegang kekuasaan [ulil al-amr], namun mereka berkewajiban untuk melakukan control social [amar ma’ruf nahy munkar], termasuk terhadap penguasa. Di samping itu, mereka memiliki hak mengekspresikan pendapatnya dan melakukan aktivitasnya dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Jewajiban dan hak ini menjadikan warga memiliki peran yang signifikan dan mandiri di luar kekuasaan negara dalam hal kontrol social tersebut, yang sejak masa Dinasti Ummayah [41-133/661-750], antara lain, dilembagakan dalam bentuk institusi wilayah al-hisab [fungsi control sosial dari warga]. Di sisi lain, pemegang kekuasaan [waliy al-amr] di pahami tidak hanya sebagai kekuasaan eksekutif, tetapi juga sebagai kekuasaan [otoritas] dalam pemahaman ajaran islam, yang dalam hal ini adalah para ulama.
Di masa awal kenabian tampak peran kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kemandirian cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagai tercermin dalam peran serta yang di ambil elemen-elemen masyarakat dalam legislasi Konstitusi Madinah.
Berdasarkan kerangka ini, maka aktualisasi peran peran kebangsaan yang di lakukan oleh pemerintah dan elemen-elemen masyrakat harus menuju kepada sebuah pemberdayaan [empowering] baik dilakukan institusi negara maupun lembaga-lembaga masyarakat madani, bahkan komunitas masyarkat secara personal.
1.2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
1.3 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas tentang
- Peranan Ulama dan Umara
- Peranan Wanita
- Peranan Mahasiswa
- Peranan Masyarakat
BAB II
PEBAHASAN
2.1 Peranan Ulama' dan Umara
Ulama adalah bentuk jamak darai kata bahasa arab. Alim yang secara harfiah artinya “orang yang berilmu”, sedangkan kata Umara adalah bentuk jamak dari kata amir yang diambil dari asal kata amara yang berarti “memerintah”. Pada masa dahulu amir digunakan sebagai sebuah jabatan milite, pada masa sekarang istilah amir umumnya digunakan sebagai gelar gubernuratau sultan dan sejumlah pimpinan Negara. Contohnya Amiril mukminin merupakan gelar bagi seorang khalifah, yang pertama kali dipakai dipakai oleh khalifah “Umar bin khatab” sebagai sebutan tertinggi umat islam.
Relasi antara ulama dan umara sebenarnya merupakan fenomena wacana yang relative baru, karena pada dasarnya isla sebagai sebuah system nilai dan ajaran niversal kemanusiaan tidak mengenal adanya dikotomi antara agama dan Negara.
Dalam sejarah, pada masa Rasullullah SAW. Kepemimpinan keagamaan dan kenegaraan menyatu pada dirinya, demikian juga halnya pada masa Khulafa al-rasyidin, kondisi ini mungkin terjadi karena masyarakat pada saat itu masih sangat sederhana, bahkan pengrtian tetang Negara saja muncul secara perlahan-lahan dari masyarakat kesekuan, kemusian berkembang menjadi komunitas umat dan selanjutnya menjelma menjadi Negara.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa walaupun pada awalnya agama dan Negara tidak dapat di salahkan dalam islam, namun perkembangan masyarakat yang banyak dan dapat menyebabkan terpisahnya kepemimpinan agama dan kepemimpinan Negara adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa ulama memiliki peran dalam sejarah umat islam. Bukan saja sebagai penjaga moral, etika ataupun akhlak, akan tetapi ulama juga mampu melihat masalah-masalah masyarakat. Ulama juga seharusnya menjadi pemandu dan pengemban visi kenabian.
Dalam hal ini, berdasarkan Al-Qur’an bahwa peran ulama itu adalah sebagai berikut:
Pertama, menyampaikan ajaran-ajaran para nabi sesuai perintah al-Qur’an. Dalam firmannya,
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
“Wahai para Rasul sampaikan apa yang diturunkan kpadamu dari tuhanmu” (Q.S.Al-Maidah 5:67)
Kedua, menjelaskan ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dalam firmannya,
“Dan kami turunkan Al-Qur’an kepadamu, untuk kamu jelaskan kepada umat manusia” (Q.S.An-Nahl 16:44).
Ketiga, memutuskan perkara atau masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Seperti dinyatakan dalam firman allah SWT.
“Dan allah turunkan bersama mereka Al-Qur’an dengan benar supaya dapat memutuskan perkara yang diperselisihkan manusia” (Q.S.Al-Baqarah 2:213).
Perilaku Nabi SAW. adalah peraktik dari Al-Qer’an, karena ulama adalah pewaris para nabi, maka mereka harus meneladani perilaku para nabi. Jadi para ulama dan umara untuk memberi petunjuk dan bimbingan yang dilandasi ajaran agama dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah yang terdapat pada masyarakat. Dengan kata peran ulama dan umara adalah untuk menyebarkan yang ma’ruf dan melenyapkan yang mungkar melalui cara-cara yang islami.
Berkaitan dengan relasi antara ulama dan umara , Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyatakan bahwa dasar pedoman yang kukuh untuk menjadi keharmonian hidup yang tentram dan aman menurut syariat islam terdiri dari dua unsure yaitu ulama dan umara (pemerintah). Baik buruknya masyarakat tergantung kepada keduanya (ulama dan umara).
Selanjutnya Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mengumpamakan ulama itu seperti sebatang pohon dengan bayangnya. Apabila pohon itu lurus maka luruslah seluruh bayangannya, tetapai jika pohonnya bengkok maka bayangannyapun ikut bengkok.
2.2 Peranan Wanita
Ulama mengetahui gambaran kedudukan wanita yang diajarkan islam, sebaiknya disajikan terlebih dahulu posisis wanita dalam islam. Sebelum islam kaum laki-laki menempati posisi istimewa dalam kehidupan keluarga, sehingga kaum perempuan secara keseluruhan dalam kehidupan keluarga pada umumnya hanya mengikuti kaum laki-laki. Oleh karenanya, masyarakat arab tidak gembira menyambut kelahiran anak perempuan. Sebab kondisi alamiah yang menyebabkan wanita tidak dapat berperan dalam kondisi yang sangat keras.
Secara umum dapat dikatakan bahwa posisi wanita pada masa sebelum islam sebagai berikut :
- Dari sisi kemanusiaan, wanita tidak memiliki kehormatan dihadapan laki-laki karena tidak adanya pengakuan terhadap peranan wanita dalam mengatur masyarakat.
- Ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan, suami dan istri dalam lingkungan keluarga.
- Mengesampingkan keperibadian/kompetensi perempuan dalam memperoleh penghidupan, sehingga wanita tidak memiliki hak dalam persoalan waris dan pemilikan harta.
Setelah islam masuk, islam menempatkan kedudukan wanita pada proporsinya dengan mengakui kaemanusiaan mereka dan mengiris habis kegelapan yang dialami wanita sepanjang sejarah, serta menjamin hak-hak wanita. Islam mengakui ekonomi wanita dan menjadikan mereka sebagai saudara kandung laki-laki. Islam juga mengakui kemampuan sosial, ibadah, dan taklif syar’i, sehingga kaum wanita mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya islam menetapkan beerapa hak kopetensi social perempuan sebagai berikut :
1. Hak untuk menyatakan pendapat dan mengajukan gugatan, dsebagaimana tercipta dalm firman allah yang artinya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan (wanita) yang mengemukakan bantahan kepada engkau tentang suaminya, dan dia mengadukan kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah adalah al-Sami’ (Maha Mendengar), lagi al-Basir (Maha Melihat)”(Q.S. Al-Mujadalah, 58:1).
2. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan social.
3. Hak untuk bertanding atau berkompetisi social.
4. Hak wanita untuk meneima dan menolak yang menginginkannya.
Wali tidak mempunyai hak untuk memaksa menerima orang yang diinginkannya, tetapi tiadk disukai wanita tersebut dan wali juga tidak dapat menghalang-halangi orang yang diinginkannya.
Dakam peran wanita ini Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memberikan penjelasan tentang peran aktualisasi wanita dalam pendidikan. Perlu diketahui bahwa organisasi Nahdlatul Wathan mengadakan dua jenis pendidikan yaitu untuk kaum laki-laki yang diberi nama Madrasah Nahdlatul Wathan Diniah Islamiyah (NWDI) yang didirikan pada tahun 1937. Sedangkan untuk kaum wanita dengan Madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) didirikan pada tahun 1943.dan pada perkembangan selanjutnya ia mendirikan madrasah Mu’alimin untuk laki-laki dan Mu’alimat untuk perempuan. Demikian juga ada lembaga pendidikan tinggi yang dikenal dengan Ma’had Darul Qur’an Walhadits, Almadjidiyah, Alsyafiyah. Nahdlatul Wathan Lil Banin untuk laki-laki dan lil Banat untuk wanita. Dalam hal ini Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memberikan posisi yang seimbang antara laki-laki dengan perempuan dalam penempatan aspek proses pendidikan.
Basis argumentasi yang sering dikemukakan dalam memposisikan peran laki-laki dan wanita secara seimbang adalah tertera dalam riwayat yang mengatakan,
“ Tidak ada seorang laki-laki yang memuliakan wanita, kecuali ia sebagai laki-laki yang berjiwa mulia, dan tidak ada seorang laki-laki yang menghina wanita, kecuali laki-laki yang berjiwa durjana.
2.3 Peranan Mahasiswa
Mahasiswa termasuk dalam kategori generasi muda yang mempunyai beberapa pengertian. Secara biologis, generasi diartikan sebagai suatu grup, golongan yang sebaya umurnya. Sedangkan secara sosiologis, berarti suatu golongan dalam masyarakat yang mempunyai hubungan tertentu dengan tatanan social yang ada pada suatu waktu.
Mahasiswa sebagai sebuah kelompok masyarakat yang memiliki dua karakteristik dasar sebagai perbedaan dengan elemen kelompok masyarakat lainnya. Kedua karakteristik ini yang menyebabkan mereka tidak akan berhenti dalam memainkan aktualisasinya sebagai agen perubahan.
Karakteristik pertama adalah, mahasiswa masuk dalam kelompok intelektual. Cirri khas dari kaum intelektual adalah sifatnya yang kritis, karena ia hidup dalam dunia ide (generasi muda) atau pendidikan. Karakteristik kedua, mahasiswa adalah usianya yang masih muda, pada usia muda seorang memiliki dinamika hidup pada umumnya kaum muda memiliki semangat untuk selalu menentang tata social yang ada di sekelilingnya.
Kedua karakteristik mahasiswa di atas yakni pemuda dan intelektual, merupakan faktor yang menyebabkan lebih kuatnya kecenderunga protes dikalangan mahasiswa. Berkaitan deng sosial politik, maka generasi mahasiswa lahir semata-mata sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada masyarakat.
Generasi tua sering menganggap bahwa generasi muda memiliki tugas khusus yakni, mereka yang akan bertanggung jawab terhadap masa dapan bangsa. Oleh karena itu, generasi muda seharusnya mempunyai hak untuk mengambil inisiatif terhadap wacana kebangsaan dimasa depan.
Dengan demikian, posisi strategis gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan, penyeru moral dan penjaga utama demokrasi. Maka yang harus dilakukan mahasiswa adalah.
Pertama, mengupayakan terciptanya kebersamaan antara gerakan mahasiswa.
Kedua, mahasiswa segera mengatasi kelemahan-kelemahan gerakan terdahulu yang dalam bidang koordinasidan sinergi antar gerakan mahasiswa
Ketiga, penguatan wacana kritis dan independent untuk mempertahanakan idealisme aktifitis gerakan mahasiswa.
Keempat, pemetaan persoalan untuk mengetahui akan persoalan.
Dalam hal ini Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menempatkan mahasiswa pada posisi yang sangat strategis pada konteks perubahan social. Kekuatan mahasiswa terletak pada kemampuan idealismenya yang terkumulasi pada kata himmah (semangat/cita-cita tinggi). Atas dasar inilah komunitas ahasiswa nahudlatul wathan digunakan dengan menggunakan kata himmah (Himpunan Mahasiswa) NW.
Himmah (semangat atau cita-ciata yang tinggi) digambarkannya dengan mengutip ucapan ulama memiliki kekuatan untuk meruntuhkan gunung.“Cita-cita yang tinggi mampu meruntuhan g unung”.
2.4 Peranan Masyarakat
Dalam ajaran islam banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menganjurkan aktualisasi peran masyarakat dalam kehidupan bersama dengan semangat tolong menolong dalm kebajikan dan ketakwaan. Firman allah SWT.
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam keburukan”.
Dalam hal peranan masyarakat, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyikapi peran aktualisasi masyarakat dalam konteks berbangsa dan bernegara menggambarkan bahwa sebuah bangsa terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang masing-masing mempunyai atau memilikiperan aktualisasinya sesuai dengan profesi dan keahliannya, masing-masingmasyarakat dapat melakukan atau mengisi peranan sebagi warga Negara.
Basis teroris dari pandangan ini adalah terminology Nahdlatul Wathan itu sendiri yang berarti pembangkitan tanah air. Dengan demikian, peran aktualisasi masyarakat yang ditawarkan dimaknai sebagai pemberdayaan. Pemberdayaan yang dimaksud untuk mentranspormasikan segenap potensi masyarakat kedalam kekuatan nyata. Adapun inti dari pemberdayaan iti adalah membuka kesadaran idiologis warga sehingga mampu mengimbangi kekuasaan Negara.
Secara umum, pola hubungan antara Negara dan masyarakat dibagi menjadi tiga variasi.
Pertama, bercorak zero. Dalam hubungan ini kekuatan Negara berbanding terbalik dengan kekuatan masyarakat, meningkatnya kekuatan Negara, melemahnya kekuatan masyarakat sipil atau sebaliknya.
Kedua, hubungan ya ng berkarakter positive, yaitu hubungan timbale balik antara dua elemen yang membrikan peningkatan kekuatan kepada keduanya.
Ketiga, negative. Kemampuan Negara untuk menentukan pola hubungannya dengan masyarakat. Sementara kekuatan masyarakat terpecah-pecah dan mengimplikasikan lemahnya kemampuan masyarakat untuk melakuakan atau menghadapi Negara.
Akhirnya, pemberdayaan masyarakat sejatinya ditujukan kearah pembentukan secara gradual suatu tatanan masyarakat politik yang demokratis-partisipatoris. Selanjutnya strategi pencapaian masyarakat politik yang kritis tersebut dilakukan pada level struktur dimana perlu dilakukan oreantasi pormat politik secara bertahap. Pada titik ini transpormasi politik dari kekuatan kritis masyarakat diharapkan mampu menyadarkan penguasa untuk meninjau kembali system politiknya. Usaha ini memerlukan dukungan penuh dari kaum kritis, intelektual, mahasiswa dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam makalah tentang peranan dalam gerakan kebangsaan ini di simpulkan
bahwa :
1. Dalam peranan Ulama dan Umara
Ulama adalah tokoh agama yang memiliki posisi yang strategis di masyarakat
dan diharpakan mempunyai peran maksimal untuk terlibat aktif dalam
mengembalikan nilai-nilai demokrasi pada arti yang sebenarnya, dan pada saat
yang sama terlibat aktif menghentikan kekerasan dan kerusuhan yang terjadi di
masyrakat. Melalui peran aktif para Ulama ini, masyarakat madani diharapakan dapat di wujudkan, begitupun dengan Umara.
2. Dalam Peranan Wanita
Wanita selaras dengan konsepsi feminisme (gerakan wanita) yang Berpandangan funsional. Bagi kalangan ini, dua-isme sentral feminis, yakni
persamaan dan kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi perempuan di
segala bidang.
3. Dalam Peranan Mahasiswa
Mahasiswa sebagai kelompok elit diantara generasi muda yang lain tentu memiliki tanggung jawab dan peran yang besar dalam proses artikulasi politik dan pemberdayaan masyarkat madani di indonnesia. Kesadaran politik mahasiswa merupakan satu kesadaran subjektif yang diinternalisasikan dan realitas objektif yang berkembang di sekitarnya.
4. Dalam Peranan Masyarakat
Peran aktualisasi masyarakat yang ditawarkan dimaknai sebagai pemberdayaan. Pemberdayaan dimaksudkan untuk mentransformasikan segenap potensi masyarakat kedalam kekuatan nyata. Inti dari pemberdayaan itu adalah membuka kesadaran ideologis warga sehingga mampu secara aktif dan mandiri mengimbangi kekuasaan negara.
3.2. Saran
Gunakanlah makalah ini sesuai dengan isinya. Semoga dengan adanya makalh ini kita semua dapat mengerti tentang peranan masyarakat dalam gerakan kebangsaan.
DAFTAR PUSTAKA
Noor, Mohammad dan Muslihan Habib, Visi Kebangsaan Religius. 2000. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu
|
0 comments:
Post a Comment