TINGKAT KEMAJUAN SISTEMATIKA TUMBUHAN
Sistematik tumbuhan memiliki fase perkembangan di dunia ilmu pengetahuan
antara lain yaitu:
1. Fase Eksplorasi atau Pioner (Alpha-taxonomy),
merupakan fese awal berupa koleksi spesimen dan pembangunan herbarium, di sini
selalu dijumpai penemuan baru, deskripsi, penamaan, dan identifikasi tumbuhan
2. Fase Konsolidasi atau Sistematik (Alpha-taxonomy),
ditemukannya informasi yang cukup untuk melihat variasi setiap spesies
tumbuhan, sehingga membantu penyiapan karya flora dan monografi.
3.
Fase Eksperimental atau Biosistematik (Omega-taxonomy),
diawali dengan komplitnya catatan herbarium dan variasi yang komplit,
penambahan informasi tentang eksperimen transplant, perilaku breeding,
kromosomal, dan molekular.
4.
Fase Ensiklopedi atau Fase Holotaksonomi (Omega-taxonomy),
disini mensinthesis dan menganalisis untuk mendapatkan gambaran filogeni
tumbuhan.
Diversifikasi dari
taksonomi atau sistematika tumbuhan jaman terkini menghasilkan disiplin baru;
Biosistematika (biosystematics) adalah bidang studi berkaitan dengan transplant
eksperimental, perilaku breeding, kromosom, dan variasi tumbuhan, kemotaksonomi
(chemosystematics)
menggunakan bukti fitokimiawi dalam pemecahan masalah taksonomis, filosistematika
(phylosystematics)
berkaitan dengan filogeni dalam klasifikasinya, taksonomi numerik (numerical
taxonomy) atau taksimetri menggunakan metode mumerik untuk analisis dan
synthesis informasi yang berasal dari berbagai bidang ilmu dari lapangan,
pengegrupan berdasarkan pada kekerabatan fenetik, dan kladistik merupakan
analisis kekerabatan filogenetik yang mengkait informasi waktu (vertikal) dan
grup makhluk (horisontal). Analisis fenetik menghasilkan fenogram (phenogram),
sedang analisis cladistik menghasilkan kladogram (cladogram).
KEBUTUHAN
UNTUK KLASIFIKASI TUMBUHAN
Berbagai system
klasifikasi mutlak dibutuhkan untuk memprediksi keragaman tumbuhan di bumi,
lebih lanjut diperlukan secara awal dalam penetapan tumbuhan sebagai bahan
pangan, mates, bakar, bangunan, obat-obatan, dan lainnya untuk survival
manusia. Konsiderasi jumlah spesies tumbuhan menunjukan adanya kesulitan dalam
dasar klasifikasi. Hampir 300.000 spesies tumbuhan hijau tercatat, tambah lebih
dari 100.000 spesies jamus, dan beberapa ribu bacteria, serta makhluk
mikroskopik lainnya yang oleh para ahli dimasukkan tumbuhan.
Estimasi jumlah spesies makhluk di
bumi (Prance, 1978)
Golongan
tumbuhan |
Jumlah
spesies |
Tumbuhan
berbiji |
240.000 |
Tumbuhan
paku |
12.000 |
Tumbuhan
lumut |
23.000 |
Ganggang
(Eukariotik) |
17.000 |
Jamur
|
120.000 |
Lumut
kerak |
16.500 |
Ganggang
hijau-biru |
500 |
Bakteria |
3.000 |
Protozoa |
30.000 |
Hewan
avertebrata |
1.000.000 |
Hewan
vertebrata |
50.000 |
Jumlah |
1.512.000 |
Turill (1938)
memperkirakan sekitar 2.000 spesies baru tumbuhan berbunga dideskripsikan
pertahun (sekitar 11.538 spesies baru dideskripsi antara tahun 1981 dan 1985;
Royal Botanic Garden, Kew). Dalam praktek dibutuhkan pengelompokan spesies
dalam grup lebih besar seperti marga, suku, bangsa, kelas, dan devisi tumbuhan,
dalam klasifikasi hirarki (hierarchical classification atau hierarchis).
Hal tersebut dapat digambarkan dengan cara lain berdasarkan seperankat karakter
yang dikombinasikan dalam wujud presentasi box-in-box, kemudian dipadu dengan dendrogram
atau phenogram.
Hirarki
Secara teoritis hirarki
klasifikasi berkembang, hirarki atau tingkat (rank; level) dalam
klasifikasi terdiri atas (dari bawah) spesies (species), marga (genus;
genera), suku (family; familia), bangsa (ordo),
kelas (classis), divisi (division), karajaan (kingdom).
Berdasarkan ICBN terdapat kategori (dari atas ke bawah) kerajaan, divisi,
kelas, bangsa, suku, marga, spesies, varitas (varietas; variety), bentuk (forma), di antaranya
dapat disisipi anak divisi (subdivision), anak marga (subgenus), seri (series),
seksi (section), anak suku (subfamilia), anak spesies (subspecies),
dan lain-lain.
Kadang sisipan juga
dapat dilakukan di atas kategori misalnya superordo, superfamilia. Di bawah ini
adalah tabel mengenai kategori (tingkat, rank; hirarki), akhiran nama menurut ICBN,
dan contoh takson pada tingkatnya.
Peringkat,
tingkat, rank, kategori, hirarki |
Akhiran
nama |
Contoh
nama takson menurut tingkatnya |
Kingdom (Kerajaan) |
- |
Plantae |
Subkingdom (Anak kerajaan) |
-bionta |
Embryobionta |
Divisio (divisi) kadang Phyllum |
-phyta |
Tracheophyta |
Subdivisio (Anak Divisi) |
-phytina |
Spermatophytina |
Classis (Kelas) |
-opsida
(-phyceae; Algae) |
Angiospermopsida |
Subclassis (Anak Kelas) |
-idea (-phycidae;
Algae) |
Dicotyledonidae |
Superordo |
-nae |
Rosanae |
Ordo (Bangsa) |
-ales |
Rosales |
Subordo (Anak Bangsa) |
-ineae |
Rosineae |
Familia (Suku) |
-aceae |
Rosaceae |
Subfamilia (Anak Suku) |
-oideae |
Rosoideae |
Tribe (Tribus) |
-eae |
Roseae |
Subtribe (Anak Tribus) |
-ineae |
Rosoineae |
Genus (Marga) |
Kata benda jamak |
Rosa |
Subgenus (Anak Marga) |
|
Rosa |
Sectio (seksi) |
|
Caninae |
Subsectio (Anak seksi) |
|
Caninae |
Series (Seri) |
|
|
Subseries (Anak Seri) |
|
|
Species (spesies; jenis) |
|
Rosa
canina |
Subspecies (Anak Jenis) |
|
R.
canina L.
subsp. (ssp.) |
Variety; Varietas (Varitas) |
|
R.
canina L. var.
lutetiana |
Subvariety (Anak Varitas) |
|
subvar. |
Form atau Forma (Bentuk) |
|
R.
canina L. f. typical |
Subform (Anak bentuk) |
|
subf. |
Pada konsep prediktivitas (predictivity concepts) klasifikasi tumbuhan dapat didasarkan pada ukuran, bentuk, warna, tekstur, dan lainnya, kadang-kadang dilakukan berdasarkan pada kemudahan untuk mengenal tumbuhan dengan beberapa karakter umum yang teramati dikenal sebagai klasifikasi artificial. Pada klasifikasi Linnaeus (Sp.Pl, 1753) mengakomodasi karakter kualitatif dan kuantitatif jumlah benang sari dan putik, saat itu dikenal sebagai Sistem klasifikasi seksual (Sexual System). Sebagai contoh dalam system tersebut diidentifikasi Kelas Diandria (memiliki 2 benang sari) pada Circaea, Salvia, & Anthoxanthum) yang ternyata secara alamiah termasuk dalam familia yang berbeda yaitu Circaea (Onagraceae), Salvia (Lamiaceae), dan Anthoxanthum (Poaceae). Termasuk dalam konsep prediktivitas paling rendah.
Prediktivitas yang
lebih tinggi adalah klasifikasi alamiah (Natural Classifications) grup yang
dikelompokkan bersifat grup alamiah. Sistem artifisial menggunakan karakter
lebih kecil dibandingkan system alamiah, karena system artificial dapat
menggunakan karakter baik dari mikro-morfologi, sitogenetik, mikro-anatomi, dan
fitokimiawi. Pendekatan berbagai karakter (multi-variate) cocok untuk system
alam karena menggunakan seluruh karakter (overall resemblance) sesuai kehendak
alam. Setiap karakter dapat dipandang dengan pembobotan yang bersifat a
posteriori (retrospectively, in
the light of experience) atau a
priori (from the strat, according
to basic assumption or deduction). Karakter yang digunakan harus memiliki
pembobotan yang tinggi tingkatnya, dan terdapat karakter yang bobotnya kecil
bahkan nol (zero weighting).
TUJUAN
KLASIFIKASI
Tujuan umum klasifikasi
berkaitan dengan penyederhaaan keragaman flora dunia, dikelompokkan dalam
golongan (takson) dan kategori setiap taksa seperti Divisi, Kelas, Bangsa,
Suku, Marga, dan Spesies, dengan tatanama masing-masing, sehingga dapat mudah
untuk dikenali. Tujuan umum klasifikasi dapat berkembang, terdapat klasifikasi
yang bertujuan untuk melihat sejarah evolusioner dan kekerabatan dari grup
taksa yang merefleksikan filogeni (pola filogenetik dan evolusionar), dikenal
sebagai klasifikasi filogenetik (phylogenetic) atau filetik (phyletic).
Klasifikasi tersebut dibedakan dengan klasifikasi fenetik (phenetic classification)
yang mendasarkan pada kesamaan dan perbedaan menyeluruh tumbuhan (struktur, sitologis,
fitokimiawi, molekular). Secara teori klasifikasi filogenetik kurag alamiah
dibandingkan dengan klasifikasi fenetik, karena hanya menggunakan karakter yang
secara evolusionr signifikans.
Tujuan khusus dari
klasifikasi berdasarkan pada interferilitas antar tumbuhan, secara khusus dalam
bidang biosistematika (biosystematics), genetika (genetics),
dan pemulia (plant breeders) (Turesson & Dencer). Kategori klasifikasi
disini memiliki definisi yang berbeda untuk suku, marga spesies, dan yang
lainnya, berdasarkan pada kemungkinan saling kawin (interbreeding). Turesson menetapkan adanya 3 tingkatan yaitu Coenospecies,
ecospecies, ecotype yang memiliki kemungkinan besar pertukaran gen dengan
taksa lainnya dalam kategori yang sama. Menurut
Dencer ecospecies dan ecotype disebut sebagai convivium,
sedangkan di atasnya ada comparium dan commiscuum berada diatas
tingkat coenospecies. Di bawah ekotipe Turesson meletakan satu kategori
lain namanya ecophene (ekofen) yang
dinyatakan sebagai variant ekologis, merpakan fenotipe sebagai produk modifikasi
lingkungan. Sekarang oleh Clement disebut dengan ecad sebagai fenotipe
modifikasi habitat untuk menyebut variasi.
Secara alamiah istilah
tersebut berguna untuk analisis genekologis dan biosistematik untuk memilah
antara analisis pola fenetik dan filogenetik, yang diaplikasikan dalam analisis
evolusionar dan pemuliaan tumbuhan budidaya (tanaman).
Kelakukan
individu dalam grup |
Turesson |
Danser |
Gilmour,
Gregor & Heslop-Harison |
Kelakuan
antara grup dan grup |
Antar
individu dapat saling kawin |
Coenospecies |
Comparium |
Syngamodeme |
Grup
tidak dapat kawin dengangrup lainnya |
Antar
individu dapat kawin namun hidrid sebagaian fertile |
Coenospecies |
Commiscuum |
Coenogamodeme |
Grup
dapat saling kawin tetapi hybrid steril |
Antar
individu dapat saling kawin hybrid secara penuh fertile |
Ecospecies |
Convivium |
Hologamodeme |
Antar
grup saling kawin menghasilkan hibrida yang sebagian fertil |
Individu
dalam habitat khusus dan membentuk populasi interbreeding yang berbeda
getotipe dari populasi yang lain |
Ecotype |
Convivium |
Genoecodeme |
Grup
dapat saling kawin menghasilkan hibrida komplit fertil |
Individu
dalam habitat khusus dengan adaptasi
fenotipe tetapi bukan genotype |
Ecophene |
|
Plastodeme |
As previous category |
Terminologi ini
merupakan kategori yang fleksibel dan di luar dari kategori formal taksonomik
(Marga, spesies, subspecies, varietas dan lainnya), menggunakan akhiran dengan
istilah netral yaitu –deme untuk meyebut kategori non
hirarkis dari ekotipe tersebut di atas (Gilmour & Gregor). Dinyatakan bahwa
topodeme
merupakan ekotipe yang terjadi karena wilayah geografi yang spesifik, ecodeme
merupakan ekotipe yang terbentuknya karena macam habitat spesifik, dan gamodeme
ekotipe tersusun dari individu-individu yang melakukan interbreeding di alam.
Gilmour &
Heslop-Horrison mengembangkan dasar penyebutan ekotipe menjadi beberapa hal,
antara lain phenodeme sebagai ekotipe yang dapat dibedakan berdasarkan
fenotipnya, plastodeme perbedaan ekotipe berdasarkan fenotipe non genetis, genodeme
dibedakan berdasarkan genotipenya, autodeme adanya ekotipe hasil
penyerbukan sendiri (self-fertilizing)
atau individu autogami, endodeme yaitu terjadi karena
inbreeding tetapi dari individu dioecius, agamodeme yaitu terjadi karena
individual predominantly apomiksis, clinodeme terjadi dengan adanya
gradasi faktor lingkungan sepanjang wilayah agihan geografinya.
Disamping itu dalam
perkembangan penelitian diterapkan juga istilah cytodeme digunakan bagi
peneliti untuk ekotipe yang individunya sama dalam kariotype (morfologi
kromosom). Genoecodeme merupakan ecodeme yang berbeda genotipenya,
sedangkan ecoplastodeme merupakan ecodeme yang berbeda non-genetik.
Ekotipe (Turesson) dan ekofen setara dengan comparium, commiscuum dan
ecospecies.
0 comments:
Post a Comment