VARIASI DALAM POPULASI
Analisis taksonomis
berdasarkan morpho-geografis diperlukan dalam studi evolusioner dan genetik
sebagai sumber utama informasi, dan sistem referensi tidak lagi memadai untuk penelitian
variasi alamiah, operasi seleksi alam, dan proses evolusioner. Studi
kekerabatan evolusioner menekankan tidak hanya secara morfologi yang
diekspresikan sebagai fenotipe, tetapi harus diteliti sifat menurun berbasis
karakter morfologis yaitu genotipe. Plastisitas fenotipe dan sifat control
genetik pada kondisi lingkungan pola variasi terlihat di dalam populasi, dan peran penting sistem reproduksi dalam mempengaruhi pola variasi
sangat besar.
Berkaitan dengan hal
tersebut di atas, taksonomi kini telah memperluas kegiatannya ke bidang sitologi, sitogenetika, genetika, studi populasi, perbandingan
tanaman budidaya dan
bentuk alamiah spesies, dan
kegiatan serupa, kajian seperti itu saat ini dikelompokkan di bawah judul umum yaitu
BIOSISTEMATIKA.
Terdapat
dua hal yang ditekankan dalam biosistematika tumbuhan: Pertama, adanya aspek
fungsional dan praktikal. Tugas
pokok pengorganisasian informasi tentang organisme dan
mengekspresikan hasil kerangka kerja morfologi dengan pengakuan nomenclatural resmi yang
belum digantikan, juga tidak mungkin di masa mendatang,
selama manusia bergantung pada informasi visual. Kerangka morfologi akan terus rentan terhadap revisi berdasarkan bukti dari bidang-bidang ilmu yang lebih baru. Beberapa ahli mempercayai, bahwa taksonomi harus berkembang
berpatokan pada morfologi dan informasi
eksperimental yang diperoleh. Tidak ada yang hilang, karena sejumlah besar data dari sitogenetika tidak akan rentan
terhadap teatment morfologi
atau ekspresi, atau kemungkinan
justru akan memotong kerangka
taksonomi morfologi, kegiatan kedua taksonomi akan merumuskan cara mengintegrasikan data
dan berkaitan dengan
skema taksonomi resmi.
Klasifikasi alternatif menekankan, sebagai
contoh analisis hubungan
kekerabatan sitogenetika terlepas dari morfologi,
mungkin
akan menjadi bermakna. klasifikasi khusus,
seperti skema coenospecies, ecospecies, ekotipe masuk
di dalam
lingkup kajian biosistematika, tetapi harus dilampirkan dalam
skema taksonomi ortodoks.
KONSEP POPULASI
Prinsip dari taksonomi modern, meskipun dinyatakan dengan cara
berlainan, bahwa spesies dan taksa yang lebih rendah harus diformulasikan
dari populasi di alam. Implikasinya sifat variabilitas
dalam spesies diterima sebagai fenomena studi penting dan perlakuan yang tepat,
tidak hanya sebagai penyimpangan dari pola atau tipe.
Spesies
pada awalnya dideskripsi dari satu atau beberapa specimen, realitanya sebagai
gambaran presentasi kecil dari populasi tumbuhan atau karakter aslinya
dilapangan. Dobzhansky (1950) “cara klasik mempelajari spesies atau bagian
darinya adalah menentukan wahana atau rerata dari sejumlah karakter yang
mungkin, dengan sampel yang banyak bermakna praktis. Sistem resultan dari
rerata diambil menjadi batas milik spesies ……”.
Bagian
besar taksonomi deskriptif tidak dapat mencukupi pada problem kebutuhan sample
yang cukup. Kegagalan deskripsi taksonomi terjadi karena analisis lebih ke
individual dari pada stuktur populasi. Pada kasus ahli taksonomi
mendeskripsikan spesies baru sejauh mana struktur populasi ditentukan, dan
harus segera dicek ke aspek tatanama dengan KITT. Validasi taksonomi spesies
dapat dilakukan dengan pengulangan dan perbanyakan sampel dari lapangan.
Taksonomi akan reprodusibel bila deskripsi takson menggunakan akomodasi sampel
yang representative wakil dari populasi. Dalam hal ini dikenal adanya original description yang akan
dimodifikasi dengan adanya penambahan sampel dari lapangan. Hal ini terkait
dengan typological taxonomy. Dari
koleksi sampel secara acak “type” diakui sebagai dasar
perbandingan dan pembeda, dan dideskripsi sebagai taksa baru dibedakan dengan
yang lainnya.
Populasi
dalam taksonomi saat ini digunakan. Dalam reproduksi seksual makhluk unit
evolusionarnya adalah populasi local
breeding, dan sebagai dasar dari unit klasifikasi dalam biosistematika.
Populasi selanjutnya dipelajari di lapangan dan statistik sampel yang
merepresentasikan suatu variasi dari populasi, yang mengindikasikan adanya
variasi frekuensi gene pool dari gene allele dan kromosom. Hal tersebut
menjadi hal yang penting dalam studi keragaman dan variabilitas dari pada tipe
dan data rarata. Paing ideal dipadukan dengan keberadaan populasi dalam ruang
dan waktu yang berbeda.
Populasi didefinisikan oleh biosistematika memiliki perbedaan yang
signifikan dibandingkan dengan yang didefinisikan oleh ahli taksonomi, namun taksa telah didefinisikan
dalam distribusi geografis
yang di dalamnya terdiri dari satu
atau lebih populasi. Spesies dan subspecies dianggap oleh
ahli taksonomi sebagai populasi, atau serangkaian populasi dari individu,
dengan semua perubahan dinamis yang berarti. Mayr menegaskan bahwa konsep populasi terjadi ke pemikiran sistematika evolusi dan genetc
dan bukan sebaliknya.
Ketika
takson diketahui sebagai representasi dari populasi, karakter dimiliki oleh
individu dan individu sebagai anggota populasim, sehingga didapat variasi
individu dan variasi grup atau kolektif. Variasi individu terjadi di dalam
populasi, termasuk adanya plastisitas masing-masing individual (phenotypic plasticity), sedangkan
variasi grup atau kolektif terjadi antar populasi.
Populasi didefinisikan dengan beberapa cara
pandang, dan populasi merupakan kata kunci dalam analisis taksonomi. Populasi dalam
taksonomi adalah “any grup of individuals
considered together at any one time because of features they have in common”.
Secara praktis merupakan kelompok tumbuhan tumbuh bersama dalam kurun waktu
tertentu dan terlihat seragam, atau merupakan serangkaian tumbuhan yang mana menempati
wilayah tertentu.
Populasi
secara dalam analisis genetik adalah pentingnya hidup bersama individu atau
grup tertentu dimana mereka dapat melakukan pertukaran gen. Populasi breeding sebagai grup individu
diantaranya dapat saling silang dengan greater
& lesser degree dengan konsekuensi terjadi gene flow. Sehngga terjadi kemungkinan adanya interbreeding dan similaritas genetik, serta adanya gene pool dalam populasi.Dalam
biosistematik terdapat keterbalikan cara pandang yaitu genetik dan kembali ke
morfologi. Populasi secara Mendelian “ a
reproductive community od sexual and
cross-fertilising individuals which share in common gene pool”. Hal ini
tampak mengikuti konsep spesies biologis.
Sirk
(1951) membedakan antara populasi plurispesifik dan unispesifik. Populasi
plurispesifik tersusun atas semua tanaman hidup bersama di dalam wilayah yang
sama, sedangkan, sehingga mengarah ke sosiologi tumbuhan. Populasi unispesifik
kelompok individu dalam satu spesies hidup dalam wilayah yang sama.
Populasi
merupakan subjek yang berubah: bervariasi dalam ukuran dari tahun ke tahun,
membentuk komposisi dalam area, dinamika populasi terjadi secara perlahan dan
kontinyu. Topogamodeme merupakan contoh dinamika populasi yang dikaitkan dengan
wilayah distribusi geografis yang membentuk unit breeding tertentu.
Di
dalam populasi himpunan individu dengan genotipe yang sama atau essential sama
genotipenya diketahui sebagai biotipe (biotype). Pada tumbuhan autogami
(kawin sendiri) biotipe mungkin tersusun atas banyak individu homosigot. Grup
allogami (allogamous) setiap biotipe merupakan individu tunggal. Populasi
dapat dtersusun atas satu atau beberapa biotipe. Struktur genetik populasi,
dijalankan dengan cara di mana berbagai alel dari
gen berbeda didistribusikan di seluruh populasi.
PENYEBAB
VARIASI DALAM POPULASI
Dasar
adanya variasi antara individu anggota populasi adalah: (1) modifikasi oleh
lingkungan eksternal, (2) mutasi, dan (3) rekombinasi genetik. Pola variasi
lebih ditentukan oleh system reproduksi, dan ini dimanfaatkan untuk proses
evolusi adaptif oleh seleksi alam. Plastisitas fenotipik menyumbangkan
perbedaan individu dalam populasi
Variasi
Genetik
1.
Mutasi gen
Populasi biasanya mengandung variasi genetik yang disebabkan oleh mutasi acak. Variasi ini berjalan dari generasi
ke generasi oleh segregasi
dan rekombinasi gen
tergantung pada sistem operasi breeding di dalam populasi. Dalam rangka untuk menerka makna yang nyata bagi evolusionis kita
harus mengikuti Mayr (1942) definisikan mutasi
secara luas sebagai perubahan kromosom secara
diskontinyu dengan efek genetik
(as a discontinuous
chromosomal change with genetic effect).
Mengadopsi definisi tersebut harus dipertimbangkan adanya tiga tingkatan mutasi: yaitu gen, set kromosom, atau genom.
Batas-batas
antara tingkat
mutasi sulit didefinisikan, dan beberapa mutasi
pada satu tingkat mirip efeknya di tingkat atas atau di bawah,
perbedaannya terutama pergeseran penekanan. Mutasi gen terutama pengembangan
perubahan proses, atau efek pada fenotipe individu. Mutasi
kromosom dan genom, perubahan menyeluruh rangkaian proses perbedaan,
atau mempengaruhi hubungan antara mereka.
Oleh karena
itu yang paling mungkin untuk memiliki serangkaian efek umum pada fenotipe, dan
juga cenderung adanya organisasi baru materi herediter.
Hal ini
memberikan kontribusi untuk isolasi reproduktif dari individu mutan dan
dengan sebagai asal-usul spesies biologi
(Stebbins, 1959b).
2.
Gen dan karakter
Pengaruh mutasi gen pada
organisme yang menjadi perhatian ahli taksonomi adalah berbagai
macam hal, misalnya pembalikan zigomorfi corolla dari Antirium menjadi
aktinomorfi, sepala berlekatan dari Silene menjadi berlepasan, atau taji
corolla pada Aquilegia menjadi tidak bertaji, semuanya adalah mutasi atavistic (ke arah kondisi hubungan ke ansestor.
Pada
efek ekstrim
yang lain bisa begitu kecil dan menyatu dengan modifikasi fenotip yang dihasilkan oleh lingkungan.
Efek perbedaan gen
tunggal antara lain pada Atropha mengalami perubahan perawakan annual ke
biennial
merupakan kemampuan kromosom untuk berpasangan.
Pada Geum efek gene tunggal terlihat
pada warna bunga.
3.
Polimorfisme
Polimorfisme
adalah adanya beranekaragam variasi genetik dalam populasi. Genetik
polimorfisme mengacu pada variant genetik atau morfologi dalam pasangan
seimbang secara temporer atau permanen
di dalam populasi interbreeding tunggal pada single spatial region bukan semata-mata karena mutasi atau
persebaran mutan netral.
Kisaran
karakter secara luas berkaitan dengan polimorfism, warna bunga (Linanthus parryae), pola bunga, bentuk
kimiawi (Eucalyptus), batang halus
dan berambut (Digitalis purpurea)
yang terjadi pada wilayah geografi berbeda, penanda daun pada Plantago maritime adalah polimorfisme
karena mutasi.Tidak semua variasi diantara biotipe dalam populasi dapat
ditandai, karena bukan karena gen tunggal tetapi karena banyak gen. Variasi
lingkungan dan bahan keturunan dapat memunculkan kurva distribusi normal yang
menunjukkan adanya variasi fenotipe dalam populasi, yang hanya akan dibuktikan
oleh penelitian breeding atau seleksi.
4.
Aksi gen
pleiotropik
Berbagai mutasi, mungkin berpengaruh
pada fenotipe tumbuhan saat telah berumur tua. Fenomena ini dikenal sebagai
pleiotropi (pleiotrophy) yang
merupakan tautan gen pada saat tumbuhan berkarakter tua. Pada Nicotiana (Solanaceae) gen yang
membentuk tangkai panjang juga membentuk ujung daun, lobus kelopak, lobus
mahkota, kepala sari memanjang, dan ahli taksonomi menentukan
sebagai spesies baru dari gen pleiotropik tunggal.
REKOMBINASI
DAN SISTEM REPRODUKSI
Rekombinasi gen adalah
penting seperti mutasi membentuk variasi adaptif pada tumbuhan tingkat tinggi.
Variabilitas rekombinasi genetik lebih luas ditentukan oleh system breeding.
Asal-usul dari differensiasi seksual memperkuat prinsip evolusi. Cross
fertilisasi system genetik untuk self incompatibility berkembang sebagai
perkembangan dari rekombinasi gen. Hal tersebut dalam kemunduran sifat tumbuhan
adalah self fertilisasi atau apomiksis. Sistem breeding dalam taksonomi sangat
penting, karena dapat menentukan variabilitas genetik dalam populasi yang
direfleksikan dalam variasi morfologis dalam populasi.
Inbrreding atau
apomiksis menimbulkan generasi yang setara dari generasi ke generasi. Cross
fertilisasi dan self fertilisasi dalam populasi takson memunculkan derajat
heterosigositas, dan pada spesies atau di bawah tingkat spesies dapat diteliti
seberapa besar kesamaan dan perbedaan gamet yang akan melakukan fertilisasi.
Populasi yang
perawakannya terbentuk secara seksual sebagai amphimictic, sedangkan yang melakukan pertukaran gen secara bebas
diberi istilah panmictic. Populasi
breeding lokal (gamodeme) adalah
panmictic normal. Populasi yang lebih besar akan menampakan adanya aliran gen,
breeding bertendensi terjadi antar individu bertetangga, dan dalam populasi
yang besar kelompok individu akan melakukan isolasi terhadap yang lainnya
menjadi populasi yang berbeda
1.
Apomiksis
Beberapa
kelompok tumbuhan tidak melakukan reproduksi seksual, istilah apomiksis
digunakan sebagai istilah umum yang mewadahi tipe reproduksi non-seksual untuk
mengganti atau menghilangkan metode seksualnya. Tetai kadang-kadang dalam suatu
populasi spesies terjadi adanya seksual dan apomiksis misalnya pada Poa pratensis terlihat adanya transisi
antara seksual komplit dan apomiksis komplit disebut sebagai apomiksis
fakultatif. Pada obligate apomicts
seperti pada Allium sativum tidak
adanya fase seksual yang diketahui. Komplokasi bertambah pada beberapa kasus
ketiika rasa atau ekotipe dalam satu spesies adalah apomictic (fakultatif atau
obligate) ketika yang lainnya terjadi seksual penuh contoh Bouteloua curtipendula (Poaceae) dan Hieracium umbellatum (Compositae).
Fenomena
apomictic dapat dibagi menjadi dua hal yaitu reproduksi vegetatif dan agamospermi
(agamospermy)
a.
Reproduksi
vegetatif (vegetative
apomiksis)
Dalam hal ini termasuk semua kasus
ketika struktur bulbil, tuber, rhizome,
stolon, dan lainnya sebagai aksesori normal berarti dalam reproduksi
mengambil alih fungsi reproduksi. Seperti Acorus
calamus yang bersifat triploid dan dipelihara dengan vegetative dari rhizome. Pada Ranunculus ficaria reproduksi dilakukan dengan tubercle aksiler
dari biji yang mereduksi. Klone artisial juga dilakukan untuk reproduksi dari
kentang (Solanum tuberosum),
owe-uwian (yam) (Dioscorea spp.), Dahlia dan lain-lain.
Vegetatif
apomiksis terjadi pada Allium.
Dikenal adanya peristiwa pseudo-vivivary pada beberapa spesies Saxifraga dan Agave, dan pada beberapa spesies rumput yaitu Poa vivivara, Festuca vivivara, Deschamsia vivivara dan lain-lain.
b. Agamospermi
Kelompok ini memiliki special
proses yaitu tipe reproduksi membentuk biji dan embrio (lembaga) dengan tanpa
proses seksual. Terdapat struktur dan mekanisme seksual, tetapi meiosis dan
fertilisasi dihindari atau atau memakai jalur lain sehingga embrio yang
terbentuk secara genetik sama dengan induknya. Beberapa tipe proses ini
termasuk diplospory, apospory, dan pseudogamy.
Kasus agamospermi adalah progeni (progeny), merupakan individu hasil reproduksi secara genetik identik dengan tetuanya
tersusun atas klon (clone) dari
biotipe yang sama. Biotipe dapat dideskripsikan sebagai “spesies” jika memiliki
beberapa sifat khas sebagai spesies taksonomik seperti karakter tersebut
konstan dan tidak bervariasi. Namun
lebih cocok didefinisikan sebagai “biospesifik” dalam suatu spesies taksonomik.
Apomiktik
biotipe sebagai populasi memiliki gene pool yang harus dimultiplikasi dari individu tunggal, sehingga
ada pertukaran gen. Beberapa klon apomiktik memunculkan kombinasi genotipe dari
spesies yang terisolasi, dan tanpa adanya apomiksis mereka tidak terus ada
karena sterilitas.
Seluruh Taraxacum di British telah diuji menunjukkan sebagai apomiktik, dan
uji sitologis menunjukkan bahwa apomiksis berjalan dengan hibridisasi dan
termasuk mutasi. Spesies lain Taraxacum
outbreeder atau inbreeder
seksual. Jumlah spesies apomiktik terdestripsi tergantung pada tersedianya ahli
flora.
Kesulitan identifikasi terjadi pada
grup yang melakukan apomiksis sebagian (partial)
pada Rubus fruticosus agg., dan Potentilla spp. keduanya kantong embrio
mereduksi atau tidak mereduksi dari sisi-sisi populasi yang sama. Kadang-kadang
mereka melakukan reproduksi seksualmenghasilkan seri baru biotipe dari
segregasi, memunculkan klon apomiktik baru, generasi seksual, dan “spesies”
baru. Pada Potentilla dipelajari berdasarkan karakter sitogenetis, pembentukan biji
apomiktik terdapat pada beberapa spesies, tetapi memiliki derajat keragaman di
beberapa spesiesnya. Grup P. argentea
material dari Scandinavia telah terbukti apomiktik, sedang dari wilayah
Mediterranean terdapat individu seksual dimana kantong embrio tidak mereduksi
sedangkan yang lain juga mereduksi (P.
argentea var. glabra). Pada P. verna adanya grup apomiktik tidak
terekspresikan pada perbedaan morfologis.
2.
Amphimiksis
Derajat
hetrosigositas tergantung pada luasnya secara frekuensi relatif dari self fertilisation atau cross fertilization. Endogami (endogamy) atau inbreeding didefinisikan sebagai pasangan individu terdekat, bentuk
proses terdekat dari hal ini adalah otogami (autogamy) termasuk self fertilization.
Hasil endogami adalah penambahan homosigositas, dan konsekuensinya endogamy
yang terus-menerus menghasilkan populasi galur murni (pure line). Allogami (allogamy)
atau eksogami (exogamy) disebut juga outbreeding, adalah pasangan antara
genotipe yang tidak sam, yaitu yang termasuk pada jalur berbeda (berkerabat
jauh). Peristiwa eksogami menambah heterosigositas, implikasi eksogami adalah
labilitas genetik, sedangkan endogami menghasilkan kesamaan atau ketetapan
genetik (gentic fixity). Kebanyakan
tumbuhan berbunga mungkin tidak jelas antara habitual inbreeding, outbreeding,
dan outcross pada level lebih tinggi atau rendah. Dalam hal ini diperlukan
analisis fungsi dari mekanisme polinasi tumbuhan berbunga dalam hal
outcrossing, karena pada system reproduksi tumbuhan di alam terjadi selfing
dengan konsekuensi endogamy, atau crossing untuk eksogami.
a.
Mekanisme
pendukung inbreeding
Pada
umumnya alat pendukung endogami dikaitkan dengan struktur dan perkembangan
bunga. Kemungkinan pengetahuan terbaik untuk contoh adalah fenomena kleistogami
(cleistogamy) yaitu bunga tidak
menbuka selama anthesis sehingga terjadi penyerbukan sendiri (self polination) atau self fertilization
terpaksa. Pada Viola, Oxallis, dan Lamium dua macam tipe bunga dijumpai namun
yang paling umum adalah kleistogami. Pada dimorfisme (dimorphism) sejati dimana individu berbeda membentuk tipe bunga
yang berbeda seperti pada Impatiens nolime-tangere membentuk bunga kecil
kelistogami dan beberapa bunga besar bertipe antara. Kadang terbentuknya
kleistogami karena faktor ekologis, pada cuaca basah Lamium amplexicaulis
membentuk bunga kleistogami seperti pada kondisi ternaung. Serangga pollinator
didaerah ternang beragam, sehingga dibentuk bunga kleistogami untuk mengatasi
banyaknya pollinator.
Pada
dimorphism bunga dijumpai adanya tipe bunga kleistogami dan kasmogami (chasmogamous) dimana bunga ini melakukan
pembukaan perhiasan bunga karena responnya terhadap cahaya matahari,
kadang-kadang bunga kleistogami akan menjadi kasmogami pada kondisi penyinaran
yang berbeda.
b.
Mekanisme
pendukung outbreeding
Mekanisme
dari hal ini banyak dan bervariasi, beberapa dijumpai habitual outbreeder yang
lainnya dapat menunjukkan derajat outcrossing.
Sejumlah tanaman bersifat monoklini
(monoclinous) dimana stamen dan
karpel dalam bunga yang sama, atau diklini
(diclinous) dengan bunga uniseksual
termasuk tumbuhan berumah satu (monoecious)
dan berumah dua (dioecious). Kisaran
system outbreeding utama dari mekanisme alat pada bunga mencegah
self-polination (synanthesis) dan temporal yang memiliki efek pada berumah dua
dan self incompatibility. Pemisahan
seksual komplet (diklini) alamiah dijumpai pada tumbuhan berumah satu (monoecism) dimana seks yang berbeda
muncul pada tanaman Zea yang sama.
Pada
Zea mays bunga jantan dan betina
muncul pada waktu yang berbeda membuat outbreeding
lebih efektif. Variasi dari monoecious
adalah poligami (polygamy) dapat memiliki bentuk tumbuhan
andro-monoecism yaitu ada bunga
jantan dan banci (hermaphrodite)
dalam satu individu, tumbuhan gyno-monoecism
bunga betina dan banci dalam satu individu.
Tumbuhan
berumah dua (dioecism) dimana seks
terpisah pada individu tumbuhan yang berbeda ini adalah system outbreeding yang paling baik, buka hanya
ourcrossing obligate tetapi kebuthan
fertilisasi terlaksana secara total. Terjadi pula adanya tumbuhan poligami
antara lain gyno-dioecious dimana individu
banci dan betina terbentuk, sehingga menyumbang adanya sejumlah gen yang
tidak sama pada generasi berikut. Compositae (Asteraceae), Caryophyllaceae, dan
Saxifragaceae adalah suku tumbuhan gyno-dioecious.
Dikogami
(dichogamy) adalah tumbuhan yang
stigma dan anthera masak pada waktu yang berbeda, membentuk dua macam hal yaitu
protandry dimana serbuk sari dilepas
sebelum stigma masak, dan protogyny
dimana stigma sudah masak dan siap sedangkan serbuk sari belum masak, keduanya
memicu terjadinya cross-pollination.
Penyerbukan
tetangga (geitonogamy)
merupakan faktor yang diabaikan dalam mekanisme outbreeding sebagai autogami
namun serbuk sari dembuahi bunga yang berbeda dalam satu individu tumbuhan
(bunga tetangga).
Heterostili
(heterostyly) dan mekanisma self-incompatibility. Incompatibilitas mengarah ke
outbreeding. Tergantung apabila dioecious, perbedaan genetik terjadi tetapi
beroperasi pada bunga banci. Self-incompatibilitas adalah system breeding pada
tumbuhan hermaprodit dimana mencegah pembentukan sigot setelah perkawinan
sendiri (self-mating).
Self-incompatility operasional serbuk sari dan putik pada individu yang sama,
sedang cross-incompatibility pada individu, ras, sepeies tumbuhan yang berbeda.
(1)
Heteromorfi (Primulaceae, Lythraceae, Linaceae,
Rubiaceae)
Grup yang melakukan perkawinan
memiliki dua atau lebih perbedaan morfologis, apabila perbedaannya pada tangkai
putik panjang dan pendek (distyly),
panjang, pendek, dan intermediet (tristyly).
Kontrol genetik oleh satu gen denga 2 allel S dan s pada distyly, atau oleh dua gen masing-masing 2 alell Ss dan Mm pada tristyly.
(2)
Homomorfik
gametofitik (Solanaceae, Rosaceae, Leguminosae,
Srophulariaceae)
Dimana semua grup yang kawin secara
morfologis tidak berbeda, control genetik oleh satu gene dengan banyak alel S1,2,3….n
(multiple allelomorph incompatibility)
(3)
Homomorfik
sporofitik (Compositae, Cruciferae, Rubiaceae)
Sistem ini merupakan kombinasi dari
2 sistem tersebut di atas, control genetiknya dari oleh satu gen dengan banyak
allel tetapi reaksi serbuk sari di bawah control sporofitik. Heterostyly pada system ini banyak
karakter morfologi dilibatkan antar lain panjang stilus, posisi stigma, tinggi
anther, posisi antera, ukuran dan konfigurasi serbuk sari, ukuran dan
konfigurasi jumbai stigma.
Semua sistem ini mempromosikan outbreeding reversibel,
memungkinkan terjadinya inbreeding. Dengan demikian perubahan morfologi mungkin terjadi di
bunga, allel
self compatibility mungkin muncul dalam sistem incompatibility, heterostyly
menimbulkan homostyly. Reverse
evolusi dari inbreeding ke outbreeding
lebih jarang terjadi.
Fleksibilitas yang besar dari kemajuan evolusi, memungkinkan terjadinya adaptasi terhadap perubahan kondisi.
3.
Faktor
pengontrol atau sistem modifikasi
Metode
reprodksi diketahui beragam, dari catatan waktu dan tempat yang berbeda,
berbagai kasus menunjukkan dikontrol mungkin oleh faktor lingkungan dan genetik
a.
Secara
entomologis. Terdapat variasi tumbuhan entomofilus (entomophilous) dalam hal jumlah, macam, atau aktvitas serangga
sebagai vector serbuk sari membawa
perubahan dalam sistem breeding. Vektor dimungkinkan
dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, kelembaban,
curah hujan, dan predator.
b.
Faktor geografi
dan iklim.
c.
Faktor genetik
d.
Modifikasi
eksperimental
e.
Seleksi
4.
Sistem breeding
dalam taksonomi
a.
Inbreeder
b.
Outbreeder
c.
Kekerabatan
taksonomis inbreeder dan outbreeder
d.
Apomiksis
0 comments:
Post a Comment