BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Para pendiri negeri
ini, sungguh sangat arif dalam menyusun UUD 1945 menghargai peranan wanita pada
masa silam dan mengantisipasi pada masa yang akan datang, dengan tidak ada satu
kata pun yang bersifat diskriminatif terhadap wanita. Konstitusi ini dengan tegas
menyatakan persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara (baik pria
maupun wanita). Di dalam GBHN 1993 di antaranya juga diamanatkan, bahwa wanita
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pria dalam pembangunan. Selain
itu, pengambil keputusan juga telah meratifikasi (mengesahkan) konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dalam UU No. 7 Tahun
1984.
Namun, kenyataan
menunjukkan bahwa wanita mengalami ketertinggalan atau ketidakberuntungan lebih
banyak dibandingkan dengan pria di antaranya di bidang pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan, penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu,
peningkatan peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti penting dalam upaya
untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita atau
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan. Kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanitaadalah
suatu kondisi hubungan kedudukan dan peranan yang dinamis antara pria dengan
Wanita. Pria dan wanita mempunyai persamaan kedudukan, hak, kewajiban dan
kesempatan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
maupun dalam kegiatan pembangunan di segala bidang (Kantor Menteri Negara
Peranan Wanita, 1998).
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan
diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimanakah status dan peran wanita?
2.
Bagaimanakah konsep Gender, peran kodrati, dan peran wanita
dalam pembangunan?
C. Tujuan
Tujuan dari isi makalah untuk:
1.
Untuk mengetahui konsep gender, peran kodrati dan peran
wanita dalam pembangunan.
BAB II
PEMBAHASAN
GENDER
Dalam hal persamaan kedudukan, baik
pria maupun wanita sama-sama berkedudukan sebagai subjek atau pelaku
pembangunan. Dalam kedudukan sebagai subjek pembangunan, pria dan wanita
mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan
menikmati hasil pembangunan. Hak yang sama di bidang pendidikan misalnya, anak
pria dan wanita mempunyai hak yang sama untuk dapat mengikuti pendidikan sampai
ke jenjang pendidikan formal tertentu.
Tentu tidaklah adil jika dalam
era global ini menomorduakan pendidikan bagi wanita, apalagi jika anak wanita
mempunyai kecerdasan atau kemampuan. Selanjutnya, kewajiban yang sama umpamanya
seorang istri samasama berkewajiban untuk mencari nafkah dengan suaminya dalam
upaya memenuhi beragam kebutuhan rumah tangga. Mencari nafkah tidak lagi hanya
menjadi kewajiban suami (pria), begitu juga kewajiban melakukan pekerjaan
urusan rumah tangga tidak semata-mata menjadi tugas istri (wanita). Akhirnya
berkaitan dengan persamaan kesempatan dapat diambil contoh, apabila ada dua
orang Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Provinsi, yakni seorang pria dan seorang
wanita yang sama-sama memenuhi syarat dan mempunyai kemampuan yang sama,
keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi lowongan sebagai Kepala
Biro. Wanita tidak dapat dinomorduakan semata-mata karena dia seorang wanita.
Pandangan bahwa pemimpin itu harus seorang pria merupakan pandangan yang keliru
dan perlu ditinggalkan.
A.
Status dan Peranan Wanita
Dari uraian tersebut
dengan jelas dapat ditangkap, bahwa menurut kondisi normatif, pria dan wanita
mempunyai status atau kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang sama, akan
tetapi menurut kondisi objektif, wanita mengalami ketertinggalan yang lebih
besar dari pada pria dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi
objektif ini tidak lain disebabkan oleh norma sosial dan nilai sosial budaya
yang masih berlaku di masyarakat. Norma sosial dan nilai sosial budaya
tersebut, di antaranya di satu pihak, menciptakan status dan peranan wanita di
sektor domestik yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan
pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan di lain pihak, menciptakan status dan
peranan pria di sektor publik yakni sebagai kepala keluarga atau rumah tangga
dan pencari nafkah. Dikemukakan oleh White dan Hastuti (1980), dalam sistem
kekerabatan patrilineal, ada adat dalam perkawinan (pernikahan) yang biasanya
wanita (istri) mengikuti pria (suami) atau tinggal di pihak kerabat suami,
merupakan salah satu faktor yang secara relatif cendrung mempengaruhi status
dan peranan wanita, yakni status dan peranan wanita menjadi lebih rendah dari
pada pria.
Selain itu, wanita
tidak bisa menjadi pemilik tanah dan kekayaan yang lain melalui hak waris,
sehingga status dan peranan wanita menjadi lebih lemah dari pada pria. Hal itu
juga menyebabkan sumber daya pribadi (khususnya yang menyangkut tanah, uang
atau material) yang dapat disumbangkan oleh wanita ke dalam perkawinan atau
rumah tangga mereka menjadi sangat terbatas. Akibatnya, status dan peranan
wanita menjadi lebih lemah dibandingkan dengan pria.
Menurut Blood dan
Walfe (1960) sumber daya pribadi bisa berupa: pendidikan, keterampilan,
uang atau material, tanah dan lain-lain. Akibat masih berlakunya berbagai norma
sosial dan nilai sosial budaya tersebut di masyarakat, maka akses wanita terhadap
sumber daya di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
menjadi terbatas. Untuk memperkecil keadaan yang merugikan wanita itu, perlu
pemahaman dan penghayatan yang baik tentang peranan wanita dalam pembangunan
yang berwawasan gender, tidak hanya oleh wanita sendiri tetapi juga oleh pria
atau seluruh lapisan masyarakat.
B.
Konsep Gender
Untuk dapat memahami
tentang peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender, terlebih
dahulu perlu dibahas tentang konsep gender, agar kita berangkat dari pengertian
yang sama. Pembahasan mengenai gender, tidak terlepas dari seks dan kodrat.
Seks, kodrat dan gender mempunyai kaitan yang erat, tetapi mempunyai pengertian
yang berbeda. Dalam kaitannya dengan peranan pria dan wanita di masyarakat,
pengertian dari ketiga konsep itu sering disalahartikan. Untuk menghindari hal
itu dan untuk mempertajam pemahaman kita tentang konsep gender, maka pengertian
seks dan kodrat perlu dijelaskan terlebih dahulu. Istilah seks dapat diartikan
kelamin secara biologis, yakni alat kelamin pria (penis) dan alat kelamin
wanita (vagina). Sejak lahir sampai meninggal dunia, pria akan tetap berjenis
kelamin pria dan wanita akan tetap berjenis kelamin wanita (kecuali dioperasi
untuk berganti jenis kelamin). Jenis kelamin itu tidak dapat ditukarkan antara
pria dengan wanita.
Kodrat adalah sifat
bawaan biologis sebagai anugerah Tuhan Yang Mahaesa, yang tidak dapat berubah
sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat pada pria dan wanita.
Konsekuensi dari anugerah itu, manusia yang berjenis kelamin wanita, diberikan
peran kodrati yang berbeda dengan manusia yang berjenis kelamin pria. Wanita
diberikan peran kodrati: (1)menstruasi, (2) mengandung, (3)melahirkan, (4)
menyusui dengan air susu ibu dan (5) menopause, dikenal dengan sebutan lima M.
Sedangkan pria diberikan peran kodrati membuahi sel telur wanita dikenal dengan
sebutan satu M. Jadi, peran kodrati wanita dengan pria berkaitan erat dengan
jenis kelamin dalam artian ini (Arjani, 2002 dan Agung Aryani, 2002).
Gender berasal dari
kata “gender” (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin. Namun
jenis kelamin di sini bukan seks secara biologis, melainkan sosial budaya dan
psikologis. Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan peranan antara
pria dengan wanita, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial
dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Peran gender adalah peran
sosial yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran
kodrati. Oleh karena itu, pembagian peranan antara pria dengan wanita dapat
berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan
lingkungan. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh
kemajuan : pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Hal itu berarti,
peran jender dapat ditukarkan antara pria dengan wanita (Agung Aryani, 2002 dan
Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
Contoh peran gender
berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sebagai berikut. (1).
Masyarakat Bali menganut system kekerabatan patrilineal, berarti hubungan
keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan dari pada
hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu). (2). Masyarakat Sumatera Barat
menganut sistem kekerabatan matrilineal, berarti hubungan keluarga dengan garis
wanita (ibu) lebih penting dari pada hubungan keluarga dengan garis pria
(ayah). (3). Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parental/ bilateral,
berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) sama pentingnya dengan
hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu). Jadi status dan peran pria dan
wanita berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang
disebabkan oleh perbedaan norma sosial dan nilai sosial budaya.
Contoh peran gender
berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman sebagai berikut.
Pada masa lalu, menyetir mobil hanya dianggap pantas dilakukan oleh pria,
tetapi sekarang wanita menyetir mobil sudah dianggap hal yang biasa. Contoh
lain, pada masa silam, jika wanita ke luar rumah sendiri (tanpa ada yang
menemani) apalagi pada waktu malam hari, dianggap tidak pantas, tetapi sekarang
sudah dianggap hal yang biasa. Contoh peran gender yang dapat ditukarkan antara
pria dengan wanita sebagai berikut. Mengasuh anak, mencuci pakaian dan
lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh wanita (ibu) dapat digantikan oleh pria
(ayah). Contoh lain, mencangkul, menyembelih ayam dan lain-lain yang biasa
dilakukan oleh pria (ayah) dapat digantikan oleh wanita (ibu). Dikemukakan oleh
Bemmelen (2002), beberapa ciri gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada pria
dan wanita sebagai berikut. Perempuan memiliki ciri-ciri: lemah, halus atau
lembut, emosional dan lain- lain. sedangkan pria memiliki ciriciri: kuat,
kasar, rasional dan lain-lain. Namun dalam kenyataannya ada wanita yang kuat,
kasar dan rasional, sebaliknya ada pula pria yang lemah, lembut dan emosional.
Beberapa status dan peran yang dicap cocok atau pantas oleh masyarakat untuk
pria dan wanita sebagai berikut.
Perempuan:
1. Ibu
rumah tangga.
2. bukan
pewaris.
3. tenaga
kerja domestic (urusan rumah tangga).
4. pramugari.
5. panen
padi.
Pria:
1. Kepala
keluarga/ rumah tangga.
2. Pewaris.
3. Tenaga
kerja public (pencari nafkah).
4. Pilot.
5. Pencangkul
lahan.
Dalam kenyataannya,
ada pria yang mengambil pekerjaan urusan rumah tangga, dan ada pula wanita
sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka, sebagai pilot,
pencangkul lahan dan lain-lain.
Dengan kata-kata
lain, peran gender tidak statis, tetapi dinamis (dapat berubah atau diubah,
sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi).
Berkaitan
dengan gender, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut.
1.
Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang,
menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun
untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor
publik.
2.
Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh
seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia
dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci
pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan
lainlain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sector domestik.
3.
Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang
untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti
gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan
bersama. (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita
Universitas Udayana, 2003). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
peran kodrati bersifat statis, sedangkan peran gender bersifat dinamis. Hal ini
dapat dicontohkan sebagai berikut.
C.
Peran Kodrati
Setelah kita
mempunyai pemahaman yang sama tentang konsep gender, berikut ini akan dibahas
peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender. Peranan wanita dalam
pembangunan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh wanita pada status
atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang politik,
ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan,
baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan wanita dalam
pembangunan yang berwawasan gender, berarti peranan wanita dalam pembangunan
Wanita:
1. Menstruasi
2. Mengandung
3. Melahirkan
4. Menyusui
dengan air susu ibu
5. Menopause
Pria:
1. Membuahi
sel telur wanita
Peran
Gender
1. Mencari
nafkah.
2. Memasak.
3. Mengasuh
anak.
4. Mencuci
pakaian dan alat-alat rumah tangga
5.
Tolong-menolong antar tetangga dan gotong-royong dalam
menyelesaikan pekerjaan milik bersama.
6. Dan
lain-lain.
D.
Peranan Wanita dalam Pembangunan
Sesuai dengan konsep
gender atau peran gender sebagaimana telah dibahas di depan, mencakup peran
produktif, peran reproduktif dan peran sosial yang sifatnya dinamis. Dinamis
dalam arti, dapat berubah atau diubah sesuai dengan perkembangan keadaan, dapat
ditukarkan antara pria dengan wanita dan bisa berbeda lintas budaya.
Mengupayakan peranan
wanita dalam pembangunan yang berwawasan atau perperspektif gender, dimaksudkan
untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau kemitrasejajaran yang
harmonis antara pria dengan wanita di dalam pembangunan. Karena, dalam proses
pembangunan kenyataannya wanita sebagai sumber daya insani masih mendapat
perbedaan perlakuan (diskriminasi). Terutama, jika wanita bergerak di sektor
publik dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada pula ketimpangan gender yang
dialami oleh pria. Untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria
dengan wanita tersebut, perlu didukung oleh perilaku saling menghargai atau
saling menghormati, saling membutuhkan, saling membantu, saling peduli dan
saling pengertian antara pria dengan wanita.
Dengan demikian,
tidak ada pihak pihak (pria atau wanita) yang merasa dirugikan dan pembangunan
akan menjadi lebih sukses. Usaha-usaha untuk mencapai kesetaraan dan keadilan
gender sesungguhnya sudah lama dilakukan oleh berbagai pihak, namun masih
mengalami hambatan. Kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum wanita.
Oleh karena itu
pemerintah telah mengambil kebijakan, tentang perlu adanya strategi yang tepat
yang dapat menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat kota, masyarakat
desa dan sebagainya.
Strategi itu dikenal
dengan istilah pengarusutamaan gender,
berasal dari bahasa Inggris gender
mainstreaming. Strategi ini tertuang di dalam Instruksi Presiden
(Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional.
Dengan pengrusutamaan
gender itu, pemerintah dapat bekerja secara lebih efisien dan efektif dalam
memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender kepada
seluruh lapisan masyarakat, baik pria maupun wanita. Dengan strategi itu juga,
program pembangunan yang akan dilaksanakan akan menjadi lebih sensitif atau
responsif gender. Hal ini pada gilirannya akan mampu menegakkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pria dan wanita atas kesempatan yang sama, pengakuan yang
sama dan penghargaan yang sama di masyarakat.
Secara operasional,
pengarusutamaan gender dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dibangun untuk
mengintegrasikan kebijakan gender dalam program pembangunan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Pengarusutamaan
gender, bertujuan untuk terselenggaranya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif
gender (Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
Pengarusutamaan
gender barulah akan memberikan hasil secara lebih memuaskan, jika dilaksanakan
oleh seluruh kalangan masyarakat, mulai dari yang tergabung dalam lembaga
pemerintah, swasta seperti organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi
politik, organisasi keagamaan dan lain-lain sampai pada unit yang terkecil
yaitu keluarga. Dalam pembangunan di bidang kesehatan misalnya, kalau
perencanaannya, elaksanaannya atau pelayanannya, pemantauannya dan evaluasinya
sudah berwawasan gender, maka dapat dipastikan bahwa kesehatan yang baik dapat
dinikmati oleh baik laki-laki maupun perempuan. Begitu juga pembangunan di bidang-bidang
yang lainnya. Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ruang lingkup
pengarusutamaan gender meliputi empat hal, yakni perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi. Dalam pelaksanaannya, masing-masing hal itu harus
mempertimbangkan empat aspek, yaitu peran, akses, manfaat dan kontrol. Artinya,
apakah dalam keempat hal tersebut sudah mempertimbangkan bahwa peran pria dan
wanita sudah setara dan adil.
Apakah akses yang
diterima oleh pria dan wanita juga akan setara dan adil. Apakah manfaat yang
langsung dirasakan oleh pria dan wanita sudah setara dan adil. Akhirnya, apakah
pria dan wanita mempunyai kesempatan yang sama dalam melakukan control dan
pengambilan keputusan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Demikianlah secara
garis besar tentang peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender.
Hal ini sangat penting dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, agar mereka
tidak melihat pria dan wanita dari kaca mata biologis (peran kodrati) saja.
Masyarakat juga harus
melihat pria dan wanita sebagai warga negara dan sumber daya insani yang
sama-sama mempunyai hak, kewajiban, kedudukan dan kesempatan dalam proses
pembangunan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Mengupayakan peranan
wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender, dimaksudkan untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender di dalam berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan. Hal ini perlu didukung oleh perilaku saling menghargai atau
menghormati, saling membantu, saling pengertian, saling peduli dan saling
membutuhkan antara pria dengan wanita. Pengarusutamaan gender merupakan
strategi yang tepat untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agung Aryani, I Gusti
Ayu. 2002. Mengenal Konsep Gender (Permasalahan dan Implementasinya dalam
Pendidikan).
Arjani, Ni Luh. 2002.
Gender dan Permasalahannya. Pusat Studi Wanita Universitas Udayana.
Denpasar.
Bammelan, Sita Van.
2002. Isu Gender di Bidang Pendidikan. Semiloka pengarusutamaan
Gender Bagi Para Perencana di Lingkungan Pendidikan Nasional Kabupaten Badung
dan Kota Denpasar.
Blood, R O. Jr. and
Wolfe, D.M. 1960. Husban and Wives. The Dynamics of Married Living. The
Free Press, New York..
Kantor Menteri Negara
Peranan Wanita. 1998. Gender dan Permasalahannya. Modul Pelatihan
Analisis Gender. Kantor Menteri Negara Peranan Wanita. Jakarta.
Tim Pusat Studi
Wanita Universitas Udayana. 2003. Konsep Gender dan Pengarusutamaan
Gender. Materi Sosialisasi Gender dan Pengarusutamaan Gender untuk Toga dan
Toma di Provinsi Bali. Denpasar
0 comments:
Post a Comment