Semilir angin pantai manerpa wajahku. Angin sepoi
pun membelai rambut seorang dedare yang kini tengah duduk disampingku dengan
lembut. Dedare bak bidadari dihatiku. Rambut panjangnya yang lurus tergerai,
bibir tipis dan mata sipit yang membuat aku mabuk kepayang. Dan satu hal lagi,
pribadi dan hatinya yang bagai emas itu pulalah yang membuat aku bertambah
tergila – gila padanya.
Semilir angin pantai menerpa wajahku kembali. Duduk bersanding berdua dengan seseorang yang telah mampu mengikat hatiku. Pantai Senggigi, pantai di Pulau Lombok yang terkenal dengan pasir putih dan panorama keindahan alamnya yang kini ku jadikan tempat duduk berdua dengan Baiq Mandalika, dedare sasak yang telah menyihir hatiku oleh parasnya.
Duduk berdua di bibir pantai dengan dedare sasak kekasih hatiku. Membiarkan kaki kami dijilati buih – buih ombak. Aku dan dia benar – benar menyatu dalam suasana sore di bibir pantai yang begitu indah. Aku dan dia satu hati, satu cinta. Walau sebenarnya aku dan dia berbeda. Dia adalah keturunan bangsawan masyarakat sasak. Sedangkan aku hanyalah seorang anak petani miskin yang hidupnya pas – pasan. Aku dan dia memang begitu jauh jika dipandang dari stratifikasi sosial. Namun memandang dari sebuah sudut yeng bernama cinta dan kasih sayang, hatiku dan dia bagitu dekat.
Jika ku ingat awal kejadian lima bulan lalu, awal kejadian dimana aku untuk pertama kalinya seolah bertemu dengan dewi yang turun dari kayangan.
Waktu itu ia tengah jalan – jalan sore menikmati hamparan sawah – sawah yang menghijau. Entah brandal – brandal dari mana yang tiba – tiba datang mengganggunnya. Bahkan berani sekali mulai mencoleki tubuhnya. Aku yang waktu itu sedang membantu Amaq bekerja di sawah tentu saja geram melihat kajadian tersebut. Apalagi aku memang paling tak suka melihat kaum hawa disakiti. Dengan modal bela diri yang ku miliki, akhirnya keempat brandal tadi berhasil ku buat lari tunggang langgang.
“Terima kasih”, itulah ucapan yang keluar dari mulut dedare yang baru saja ku bantu dari ganguan para brandal.
“Sama – sama. Lain kali kalau mau jalan – jalan ajaklah barang seorang atau dua orang teman agar lebih aman”, aku menanggapi ucapannya.
Ia mengangguk seraya menyunggingkan senyuman.
“Oya, perkenalkan nama saya Mandalika. Kamu sendiri siapa ?”, ia kemudian bertanya sambil mengulurkan tangan kearahku.
“Nama saya Mustafa. Senang berkenalan denganmu”, ucapku membalas uluran tangannya. “Oya, bagaimana kalau kamu mampir sebentar ke sawahku. Kemudian duduk – duduk di bebaleq sambil makan ubi rebus dan teh hangat. Maukan ?”, aku menawarinya.
Ia pun mengangguk tanda setuju. Kemudian mengekor di belakangku menuju bebaleq yang letaknya berada di samping telaga ikan dekat petak sawah.
Sesampai di bebaleq aku mempersilahkannya untuk menyantap ubi rebus dan teh hangat yang ku bawa tadi bersama Amaq dari rumah.
“Ayo Mandalika, di makan saja ubi rebusnya. Jangan malu – malu. Tapi maaf sebelumnya, hanyala inilah makanan ynag ada. Maklumlah makanan orang miskin”, ujarku padanya. Karena jika ku perhatikan dari penampilan dan cara berpakainnya, ku yakin ia orang kaya.
“Akh…kamu bisa saja. Ada ubi rebus pun syukur. Dari pada tidak ada sama sekali. Syukur pula kalau kita masih bisa makan ubi rebus. Sedangkan di luar sana masih banyak kan saudara – saudara kita yang bahkan menderita kelaparan?”, ujarnya memberi sedikit petuah untukku seraya memasukkan potongan ubi rebus ke mulutnya yang diselingi dengan senyuman yang tersungging begitu manis.
Berselang beberapa menit kemudian, Amaq pun datang, baru saja menyelesaikan pekerjaan di sawah.
Begitu Amaq datang, sebuah niat sudah terpatri di dalam hatiku. Aku berniat akan memperkenalkan Mandalika pada Amaq. Namun rupanya aku kecolongan. Amaq telah lebih dahulu mengenal Mandalika.
“Baiq ?”, Amaq tiba – tiba mengucapkan gelar itu pada Mandalika. Beliau seolah tak percaya kalau yang sekarang berada di hadapannya adalah seorang Baiq Mandalika. (Baiq adalah gelar kebangsawanan masyarakat sasak untuk kaum wanita).
“Tuaq ?” , Mandalika juga seolah tak percaya dengan kehadiran Amaq kini di depan matanya. Mandalika memanggil dengan sebutan Tuaq pada Amaqku. (Tuaq dalam bahasa sasak berarti ‘paman’)
“Baiq sedang apa di sini bersama Mustafa ?. Baiq, Mustafa ini anak Tuaq. Bagaimana mungkin sekarang kalian bisa saling mengenal?.”
“Jadi, Mustafa ini anak Tuaq ?, kenapa Tuaq tidak pernah cerita pada saya kalau ternyata Tuaq punya anak laki – laki yang seumuran dengan saya ?. Mengenai kenalnya saya dengan Mustafa, ini berawal dari bantuan Mustafa yang telah menolong saya waktu tadi diganggu oleh brandalan”, Mandalika menjelaskan pada Amaq.
Sementara Amaq dan Mandalika berbincang – bincang, aku hanya bisa diam. Aku tidak mengerti dengan keadaan ini. Mengapa Amaq dan Mandalika bisa begitu akrab?. Dan satu lagi, tadi Mandalika tidak menyebutkan gelar kebangsawanannya waktu memperkenalkan diri padaku. Ku perhatikan sedari tadi, dedare yang satu ini memang benar – benar memancarkan kebaikan dan kerendahan hati. Lebih – lebih ia juga tak menolak saat ku tawari makanan yang hanya sebatas ubi rebus.
“Baiq, sepertinya hari sudah petang. Sebaiknya sekarang kita pulang”.
“Mustafa, kita mengambil jalan memutar untuk pulang agar bisa mangantarkan baiq Mandalika dulu ke rumahnya”, ujar Amaq kemudian padaku.
“Baik, Amaq”.
Aku dan amaq pun mengambil jalan memutar agar bisa mengantarkan Mandalika dulu sampai ke rumahnya. Setelah Mandalika sampai di rumahnya barulah aku mengerti mengapa Amaq dan Mandalika begitu akrab. Mandalika rupanya adalah putri dari Pak Lurah, tempat Amaq bekerja sejak belasan tahun yang lalu, bahkan sebelum Mamiq Mandalika menjabat menjadi seorang lurah.
“Terimakasih ya Tuaq sudah mengantarkan saya pulang. Mustafa juga, terimakasih sekali lagi karena sudah membantu saya tadi”, ucap Baiq Mandalika sambil kemudian masuk ke dalam rumah.
“Amaq, mengapa amaq tidak pernah cerita pada saya kalau ternyata Pak Lurah mempunyai seorang anak dedare seperti Baiq Mandalika?”, tanyaku komplin pada Amaq.
“Bagaimana mungkin Amaq akan berecerita padamu sementara kamu sendiri tidak pernah bertanya. Toh juga hal itu tidak terlalu penting kan?”.
Jawaban Amaq cukup membuatku terdiam tanpa tahu harus bertanya apa lagi.
***
Keesokan paginya…
“Amaq, hari ini saya mau ikut bekerja bersama Amaq di rumahnya Baiq Mandalika eh…di rumah Pak Lurah”, ucapku memelas pada Amaq agar diizinkan.
“Mimpi apa kamu semalam?. Biasanya juga walaupun Amaq minta agar kamu ikut dengan Amaq bekerja di rumahnya Pak Lurah, paling juga kamu menjawab lebih enak tidur”.
“Yah…sekarang lain Amaq. Saya mau katemu sama Mandalika. Dari pada di rumah tidak ada pekerjaan. Kan lebih baik ikut Amaq bekerja di rumah Pak Lurah. Boleh ya, Amaq?”, aku merayu.
“Ya sudah, kamu boleh ikut dengan Amaq. Dengan satu syarat, kamu tidak boleh terlalau dekat dengan Baiq Mandalika.
“Maksud Amaq?”, aku tak mengerti.
“Kamu dan Baiq Mandalika hanyalah sebatas teman, tidak boleh lebih dari itu”.
“Tidak boleh lebih dari sekedar teman?”, aku bertambah bingung dengan penjelasan Amaq.
“Kamu pasti akan mengerti juga. Mustafa, Amaq pernah mengalami masa remaja usia tujuh belasan tahun sepertimu kini. Amaq harap tidak akan ada perasaan lebih di hatimu untuk Baiq Mandalika. Ingat Mustafa, kamu dan Baiq Mandalika berbeda jauh. Baiq Mandalika itu keturunan bangsawan, sedangkan kamu hanyalah anak Amaq yang hidupnya miskin dan pas – pasan. Jangan sampai ada sesuatu di hatimu untuk Baiq Mandalika, atau kelak kau yang akan merasa sakit oleh perasaan itu sendiri”.
“Ya Amaq, saya mengerti”, ucapku menanggapi perkataan Amaq.
Kejadiannya berlangsung selama satu bulan, aku wajib ikut dengan Amaq untuk bekerja di rumah Pak Lurah sebagai tukang kebun. Biasanya Baiq Mandalika pun terlihat menyirami bunga – bunga tanamannya. Dalam keadaan seperti inilah aku mencuri pandang. Biasanya selalu ku perhatikan kemolekan wajahnya. Saat tiba – tiba pandangan kami beradu pun ia biasanya tersipu malu dengan wajah yang merona memerah. Sebulan itulah aku mulai merasakan getaran lain dalam dadaku jika bertemu dengan Baiq Mandalika. Jangankan bertemu dengannya, membayangkan wajahnya pun perasaanku pasti langsung berubah jadi tak karuan. Jantungku rasanya berdetak keras sedangkan darahku mengalir dengan derasnya. Lebih – lebih Baiq Mandalika pun sering sekali hadir sebagai bunga dalam tidurku, hadir dalam mimpiku.
Tak bisa ku pungkiri, di usiaku yang masih remaja ini, usia tujuh belasan tahun aku merasakan suatu gatar asa. Suatu getar yang biasa di katakan orang, bernama ‘cinta’. Ya…getar asa itu adalah getar cinta. Aku telah terlanjur jatuh cinta pada Baiq Mandalika.
Satu minggu kemudian, tak tahan menahan dan memendam gejolak yang timbul dalam dada, aku pun mencoba menumpahkan segalanya pada orang yang telah mampu menciptakan perasaan itu dalam diriku.
Ketika ku coba untuk mengutarakan perasaanku pada Baiq Mandalika, ternyata semuanya tak sia – sia. Gayung cintaku tersambut. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Hingga akhirnya aku dan Baiq Mandalika pun menjalin hubungan asmara. Namun hubungan yang jelas – jelas dilakukan secara sembunyi – sembunyi. Aku tidak ingin Amaqku tahu tentang hubunganku dengan Baiq Mandalika. Sebab, beberapa waktu silam Amaq sudah memperingatkanku agar tak menaruh perasaan lebih pada Baiq Mandalika. Namun harus bagaimana lagi, jika hati sudah terpaut, perasaan pun tak bisa dipungkiri.
Begitu juga dengan Baiq Mandalika, aku melarangnya menceritakan hubungan ini pada Mamiqnya. Aku tahu, Mamiq Mandalika pasti tidak menyetujui hubungan kami, disebabkan oleh jurang derajat pemisah yang begitu dalam.
***
Sebulan kemudian menjalani hubungan secara rahasia, akhirnya Amaqku dan Mamiq Mandalika tahu juga dengan hubungan kami.
Jelas sajalah apa yang terjadi. Baik aku maupun Mandalika diwanti – wanti oleh orang tua masing – masing.
“Baiq Mandalika, dengarkan Mamiq. Mamiq tidak setuju kalau kamu menjalin hubungan dengan Mustafa. Dia itu hanyalah seorang anak tukang kebun di sini. Di luar sana masih begitu banyak pemuda yang lebih terhormat dari dia. Pilih saja sesuka hatimu. Mamiq pasti akan merestui hubungan kalian. Asal satu catatan, kamu tidak boleh berhubungan dengan Mustafa. Lagipula dia hanyalah keturunan dari masyarakat biasa tanpa gelar kebangsawanan satu pun melekat di depan namanya”, begitulah wanti - wanti yang biasa diterima oleh Baiq Mandalika. Sementara itu Baiq Mandalika pun hanya bisa menangis.
Demikianlah yang aku ketahui, sebab Baiq Mandalika seringkali bercerita padaku tentang wanti – wanti yang biasa dilontarkan oleh mamiqnya.
Kejadian yang dialami Baiq Mandalika pun tak berbeda jauh dengan yang aku alami. Amaq juga sering mewanti – wantiku agar tak lagi berhubungan dengan Baiq Mandalika.
“Amaq sudah tidak mau lagi mendengar bahwa kamu dan Baiq Mandalika masih mempunyai hubungan. Lebih baik cari gadis lain yang sederajat dengan kita. Baiq Mandalika itu terlalu tinggai untuk kau raih , anakku. Ia seoraang keturunan bangsawan, sementara kau sendiri hanyalah keturunan dari kalangan masyarakat biasa”, itulah wanti – wanti yang biasa ku terima dari Amaq.
Aku dan Baiq Mandalika sudah berpuluh – puluh kali diperingati oleh orang tua masing – masing agar tak lagi saling mencintai dan menjalin hubungan asmara. Namun rupanya cintaku dengan Baiq Mandalika begitu kuat hingga badai sebesar apapun datang melanda, cinta kami takkan peernah goyah. Peringatan dari orang tua masing – masing kami acuhkan. Kami tetap menjalni hubungan asmara ini dengan harmonis. Dengan tetap berharap semoga kelak hubungan kami pun direstui.
Lima bulan kemudian…
Menjalin hubungan dengan kekangan dari orang tua sungguh sautu beban yang berat. Namun aku dan Baiq Mandalika akan terus mencoba mempertahankan hubungan ini.
Dan hingga kini pun hubungan itu tetap kami pegang erat.
Akh… semilir angin pantai menerpa wajahku. Membuyarkan lamunan alam ingatan tentang flash back kejadian lima bulan lalu, awal aku bertamu Baiq Mandalika hingga kini ia menjadi kekasih hatiku. Duduk bersanding berdua denganku di bibir pantai Senggigi menikmati panorama keindahan alam ciptaan Tuhan.
“Mustafa, Baiq Mandalika”, sebuah suara memanggil namaku dan Baiq Mandalika. Suara itu suara yang begitu ku kenal. Suara Amaq.
Serentak, aku dan Baiq Mandalika pun menoleh, dan benar saja, Amaq sudah berdiri di belakang kami.
“Mustafa, ikut Amaq pulang. Ajak Baiq Mandalika ikut serta” , tanpa menunggu lama Amaq melontarkan kalimat tadi. Aku dan Baiq Mandalika bingung denagan sikap Amaq. Namun kami pun hanya bisa mengekor dari belakang, mengikuti perintah Amaq.
Sesampai di rumah, tanpa kami sangka sebelumnya ternyata Mamiq Mandalika juga sudah ada di dalam rumah. Aku kaget bukan kepalang. Di otakku telah timbul pikiran – pikiran miring tentang sesuatu yang akan terjadi. Pastinya kami akan diwanti habis – habisan dan akan dipisahkan untuk selamanya. Akh…aku tak bisa membayangkan jika harus kehilangan Baiq Mandalika.
Begitu pula perubahan raut wajah yang sempat ku perhatikan pada Baiq Mandalika. Wajahnya terlihat pusat pasi dan ia juga nampak sedikit gemetaran. Mungkin pikiran yang saat ini berkecamuk dalam pikiranku juga berkecamuk di alam pikirannya.
“Mustafa, Baiq Mandalika, duduklah”, Amaq mempersilahkan kami berdua duduk.
Amaq pun kemudian melanjutkan.
“Mustafa, Baiq Mandalika. Sebelumnya Amaq ingin minta maaf pada kalian jika akan menceritakan suatu hal pada kalian. Hal yang sudah seharusnya kalian ketahui”, Amaq mengucapkan kata – kata tadi dengan penuh kerahasiaan.
Amaq kemudian membuka kotak kayu kecil berukiran khas Lombok. Isi dalam kotak itu adalah sepasang kalung bertali hitam dan barbando berbentuk huruf ‘V’ terbalik. Sepertinya bando kalung itu terbuat dari magnet. Amaq mencoba menyatukan kedua kalung tersebut. Ternyata perpaduan bando kedua kalung yang tadi disatukan Amaq membentuk huruf ‘M’.
Baru kemudian Amaq mulai bercerita
“Tujuh belas tahun lalu, tepat saat bulan purnama, Amaq dikaruniai dua orang anak kembar. Kedua anak kembari tulah yang memiliki kalung ini. Kemudian ada seorang saudagar kaya yang belum dikaruniai seorang momongan pun walau sudah menikah selama sepuluh tahun. Ia begitu berhasrat untuk memilki seorang anak. Walau mungkin harus mengasuh anak angkat.
Saat mengetahui Amaq dikaruniai dua orang anak kembar, saudagar tadi datang pada Amaq untuk meminta salah seorang dari anak kembar yang Amaq milki. Setelah satu minggu dipikir – pikir akhirnya Amaq manyetujui juga keinginan saudagar tadi. Amaq pun akhirnya memberikan salah seorang dari anak kembar yang Amaq miliki.
Bukan tidak ada alasan yang mendasar mengapa Amaq rela salah satu anak Amaq dijadikan sebagai anak angkat oleh saudagar tadi. Keadaan ekonomi, itulah alasan paling mendasar. Amaq tidak sanggup jika harus mananggung biaya hidup kedua anak tadi hingga besar. Penghasilah Amaq waktu itu juga masih tak seberapa. Lagipula Amaq juga ingin salah satu dari Amaq anak bisa merasakan hidup bahagia menikmati kemewahan, itulah sebabnya Amaq rela anak Amaq dijadikan sebagai anak angkat oleh saudagar yang kaya, dengan harapan agar ia bisa hidup mewah dan serba berkecukupan.
Sebenarnya, saat mengangkat salah satu anak Amaq, saudagar tadi menawarkan sebuah rumah dan beberapa petak sawah sebagai tanda terima kasih, namun Amaq menolaknya dengan halus. Amaq justru minta untuk dipekerjakan di rumah saudagar tadi agar Amaq tetap bisa memantau dan melihat keadaan anak Amaq yang ada pada saudagar. Satu lagi permintaan Amaq pada saudagar tadi, Amaq hanya minta agar anak Amaq dirawat dan dijaga baik – baik serta mengakuinya sebagai anak kandungnya sendiri.”, Amaq sempat meneteskan air mata menceritakan kisah tadi.
Pikiranku galau, bukankah aku anak Amaq?, secara otomatis tentu anak kembar yang Amaq ceritakan tadi adalah aku. Lantas dimana saudara kembarku?. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam dadaku.
“Mustafa, Baiq Mandalika, kami berdua sebagai orang tua melarang hubungan asmara yang kalian jalin sebenarnya bukanlah semata - mata beralasan karena stratifikasi sosial di antara kalian. Melainkan suatu hal. Dan hal inilah yang sekarang harus kalian ketahui.
Mustafa, Baiq Mandalika, maaf jika Amaq pernah melarang keras hubungan kalian. Sebab, jika tidak dilarang, maka Amaq pulalah yang akan menanggung dosa dan murka Tuhan. Sebelumnya, mungkin rahasia ini tidak akan pernah Amaq buka dan ceritakan pada kalian seandainya saja kalian tidak bersikeras melanjutkan hubungan kalian.
Mustafa, Baiq Mandalika, anak kembar yang tadi Amaq ceritakan adalah kisah kalian berdua. Itulah sebabnya Amaq dan Mamiq menentang keras hubungan asmara yang kalian jalin. Alasannya bukan semata - mata karena perbedaan sosial. Hentikan sampai disini hubungan kalian sebagai sepasang kekasih tetapi lanjutkan sebagai sepasang adik kakak, karena kalian adalah saudara kembar, kalian adalah anak - anakku”, Amaq mengakhiri ucapannya.
Mendengar penjelasan Amaq tadi, jelas saja aku dan Baiq Mandalika terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang kami dengar. Aku belum siap memutar hatiku dari mencintai Baiq Mandalika sebagai kekasih kemudian sekarang akan menjadi saudara, adik kembaranku. Begitu pulalah yang mungkin dirasakan Baiq Mandalika. Sepintas ku perhatikan butiran bening mengalir dari kelopak matanya membentuk aliran sungai kecil dikedua pipinya.
“Kakak”, tiba – tiba Baiq Mandaika memelukku seraya melontarkan panggilan kakak padaku.
Ku sambut pelukannya, bukan pelukan kepada seorang kekasih, tetapi mencoba memutar haluan hatiku, memeluknya sebagai seorang saudara kembarku. Aku harus mencoba membunuh perasaanku padanya sebagai seorang kekasih.
“Adikku”, bisikku ditelinganya.
***
Keterangan :
Dedare : dalam bahasa sasak berarti ‘gadis’
Sasak : suku asli pulau Lombok
Amaq : dalam bahasa sasak berarti ‘bapak’ (panggilan Amaq khusus untuk masyarakat non bangsawan/ masyarakat biasa di kalangan masyarakat sasak )
Bebaleq : rumah kecil beratap rumbia atau ilalang, berada di pinggiran petak sawah. Berfungsi sebagai tempat peristirahatan para petani setelah lelah bekerja di sawah
Tuaq : dalam bahasa sasak berarti ‘paman’
Mamiq : dalam bahasa sasak berarti ‘bapak’ (panggilan Mamiq khusus untuk masyarakat bangsawan di kalangan masyarakat sasak)
Semilir angin pantai menerpa wajahku kembali. Duduk bersanding berdua dengan seseorang yang telah mampu mengikat hatiku. Pantai Senggigi, pantai di Pulau Lombok yang terkenal dengan pasir putih dan panorama keindahan alamnya yang kini ku jadikan tempat duduk berdua dengan Baiq Mandalika, dedare sasak yang telah menyihir hatiku oleh parasnya.
Duduk berdua di bibir pantai dengan dedare sasak kekasih hatiku. Membiarkan kaki kami dijilati buih – buih ombak. Aku dan dia benar – benar menyatu dalam suasana sore di bibir pantai yang begitu indah. Aku dan dia satu hati, satu cinta. Walau sebenarnya aku dan dia berbeda. Dia adalah keturunan bangsawan masyarakat sasak. Sedangkan aku hanyalah seorang anak petani miskin yang hidupnya pas – pasan. Aku dan dia memang begitu jauh jika dipandang dari stratifikasi sosial. Namun memandang dari sebuah sudut yeng bernama cinta dan kasih sayang, hatiku dan dia bagitu dekat.
Jika ku ingat awal kejadian lima bulan lalu, awal kejadian dimana aku untuk pertama kalinya seolah bertemu dengan dewi yang turun dari kayangan.
Waktu itu ia tengah jalan – jalan sore menikmati hamparan sawah – sawah yang menghijau. Entah brandal – brandal dari mana yang tiba – tiba datang mengganggunnya. Bahkan berani sekali mulai mencoleki tubuhnya. Aku yang waktu itu sedang membantu Amaq bekerja di sawah tentu saja geram melihat kajadian tersebut. Apalagi aku memang paling tak suka melihat kaum hawa disakiti. Dengan modal bela diri yang ku miliki, akhirnya keempat brandal tadi berhasil ku buat lari tunggang langgang.
“Terima kasih”, itulah ucapan yang keluar dari mulut dedare yang baru saja ku bantu dari ganguan para brandal.
“Sama – sama. Lain kali kalau mau jalan – jalan ajaklah barang seorang atau dua orang teman agar lebih aman”, aku menanggapi ucapannya.
Ia mengangguk seraya menyunggingkan senyuman.
“Oya, perkenalkan nama saya Mandalika. Kamu sendiri siapa ?”, ia kemudian bertanya sambil mengulurkan tangan kearahku.
“Nama saya Mustafa. Senang berkenalan denganmu”, ucapku membalas uluran tangannya. “Oya, bagaimana kalau kamu mampir sebentar ke sawahku. Kemudian duduk – duduk di bebaleq sambil makan ubi rebus dan teh hangat. Maukan ?”, aku menawarinya.
Ia pun mengangguk tanda setuju. Kemudian mengekor di belakangku menuju bebaleq yang letaknya berada di samping telaga ikan dekat petak sawah.
Sesampai di bebaleq aku mempersilahkannya untuk menyantap ubi rebus dan teh hangat yang ku bawa tadi bersama Amaq dari rumah.
“Ayo Mandalika, di makan saja ubi rebusnya. Jangan malu – malu. Tapi maaf sebelumnya, hanyala inilah makanan ynag ada. Maklumlah makanan orang miskin”, ujarku padanya. Karena jika ku perhatikan dari penampilan dan cara berpakainnya, ku yakin ia orang kaya.
“Akh…kamu bisa saja. Ada ubi rebus pun syukur. Dari pada tidak ada sama sekali. Syukur pula kalau kita masih bisa makan ubi rebus. Sedangkan di luar sana masih banyak kan saudara – saudara kita yang bahkan menderita kelaparan?”, ujarnya memberi sedikit petuah untukku seraya memasukkan potongan ubi rebus ke mulutnya yang diselingi dengan senyuman yang tersungging begitu manis.
Berselang beberapa menit kemudian, Amaq pun datang, baru saja menyelesaikan pekerjaan di sawah.
Begitu Amaq datang, sebuah niat sudah terpatri di dalam hatiku. Aku berniat akan memperkenalkan Mandalika pada Amaq. Namun rupanya aku kecolongan. Amaq telah lebih dahulu mengenal Mandalika.
“Baiq ?”, Amaq tiba – tiba mengucapkan gelar itu pada Mandalika. Beliau seolah tak percaya kalau yang sekarang berada di hadapannya adalah seorang Baiq Mandalika. (Baiq adalah gelar kebangsawanan masyarakat sasak untuk kaum wanita).
“Tuaq ?” , Mandalika juga seolah tak percaya dengan kehadiran Amaq kini di depan matanya. Mandalika memanggil dengan sebutan Tuaq pada Amaqku. (Tuaq dalam bahasa sasak berarti ‘paman’)
“Baiq sedang apa di sini bersama Mustafa ?. Baiq, Mustafa ini anak Tuaq. Bagaimana mungkin sekarang kalian bisa saling mengenal?.”
“Jadi, Mustafa ini anak Tuaq ?, kenapa Tuaq tidak pernah cerita pada saya kalau ternyata Tuaq punya anak laki – laki yang seumuran dengan saya ?. Mengenai kenalnya saya dengan Mustafa, ini berawal dari bantuan Mustafa yang telah menolong saya waktu tadi diganggu oleh brandalan”, Mandalika menjelaskan pada Amaq.
Sementara Amaq dan Mandalika berbincang – bincang, aku hanya bisa diam. Aku tidak mengerti dengan keadaan ini. Mengapa Amaq dan Mandalika bisa begitu akrab?. Dan satu lagi, tadi Mandalika tidak menyebutkan gelar kebangsawanannya waktu memperkenalkan diri padaku. Ku perhatikan sedari tadi, dedare yang satu ini memang benar – benar memancarkan kebaikan dan kerendahan hati. Lebih – lebih ia juga tak menolak saat ku tawari makanan yang hanya sebatas ubi rebus.
“Baiq, sepertinya hari sudah petang. Sebaiknya sekarang kita pulang”.
“Mustafa, kita mengambil jalan memutar untuk pulang agar bisa mangantarkan baiq Mandalika dulu ke rumahnya”, ujar Amaq kemudian padaku.
“Baik, Amaq”.
Aku dan amaq pun mengambil jalan memutar agar bisa mengantarkan Mandalika dulu sampai ke rumahnya. Setelah Mandalika sampai di rumahnya barulah aku mengerti mengapa Amaq dan Mandalika begitu akrab. Mandalika rupanya adalah putri dari Pak Lurah, tempat Amaq bekerja sejak belasan tahun yang lalu, bahkan sebelum Mamiq Mandalika menjabat menjadi seorang lurah.
“Terimakasih ya Tuaq sudah mengantarkan saya pulang. Mustafa juga, terimakasih sekali lagi karena sudah membantu saya tadi”, ucap Baiq Mandalika sambil kemudian masuk ke dalam rumah.
“Amaq, mengapa amaq tidak pernah cerita pada saya kalau ternyata Pak Lurah mempunyai seorang anak dedare seperti Baiq Mandalika?”, tanyaku komplin pada Amaq.
“Bagaimana mungkin Amaq akan berecerita padamu sementara kamu sendiri tidak pernah bertanya. Toh juga hal itu tidak terlalu penting kan?”.
Jawaban Amaq cukup membuatku terdiam tanpa tahu harus bertanya apa lagi.
***
Keesokan paginya…
“Amaq, hari ini saya mau ikut bekerja bersama Amaq di rumahnya Baiq Mandalika eh…di rumah Pak Lurah”, ucapku memelas pada Amaq agar diizinkan.
“Mimpi apa kamu semalam?. Biasanya juga walaupun Amaq minta agar kamu ikut dengan Amaq bekerja di rumahnya Pak Lurah, paling juga kamu menjawab lebih enak tidur”.
“Yah…sekarang lain Amaq. Saya mau katemu sama Mandalika. Dari pada di rumah tidak ada pekerjaan. Kan lebih baik ikut Amaq bekerja di rumah Pak Lurah. Boleh ya, Amaq?”, aku merayu.
“Ya sudah, kamu boleh ikut dengan Amaq. Dengan satu syarat, kamu tidak boleh terlalau dekat dengan Baiq Mandalika.
“Maksud Amaq?”, aku tak mengerti.
“Kamu dan Baiq Mandalika hanyalah sebatas teman, tidak boleh lebih dari itu”.
“Tidak boleh lebih dari sekedar teman?”, aku bertambah bingung dengan penjelasan Amaq.
“Kamu pasti akan mengerti juga. Mustafa, Amaq pernah mengalami masa remaja usia tujuh belasan tahun sepertimu kini. Amaq harap tidak akan ada perasaan lebih di hatimu untuk Baiq Mandalika. Ingat Mustafa, kamu dan Baiq Mandalika berbeda jauh. Baiq Mandalika itu keturunan bangsawan, sedangkan kamu hanyalah anak Amaq yang hidupnya miskin dan pas – pasan. Jangan sampai ada sesuatu di hatimu untuk Baiq Mandalika, atau kelak kau yang akan merasa sakit oleh perasaan itu sendiri”.
“Ya Amaq, saya mengerti”, ucapku menanggapi perkataan Amaq.
Kejadiannya berlangsung selama satu bulan, aku wajib ikut dengan Amaq untuk bekerja di rumah Pak Lurah sebagai tukang kebun. Biasanya Baiq Mandalika pun terlihat menyirami bunga – bunga tanamannya. Dalam keadaan seperti inilah aku mencuri pandang. Biasanya selalu ku perhatikan kemolekan wajahnya. Saat tiba – tiba pandangan kami beradu pun ia biasanya tersipu malu dengan wajah yang merona memerah. Sebulan itulah aku mulai merasakan getaran lain dalam dadaku jika bertemu dengan Baiq Mandalika. Jangankan bertemu dengannya, membayangkan wajahnya pun perasaanku pasti langsung berubah jadi tak karuan. Jantungku rasanya berdetak keras sedangkan darahku mengalir dengan derasnya. Lebih – lebih Baiq Mandalika pun sering sekali hadir sebagai bunga dalam tidurku, hadir dalam mimpiku.
Tak bisa ku pungkiri, di usiaku yang masih remaja ini, usia tujuh belasan tahun aku merasakan suatu gatar asa. Suatu getar yang biasa di katakan orang, bernama ‘cinta’. Ya…getar asa itu adalah getar cinta. Aku telah terlanjur jatuh cinta pada Baiq Mandalika.
Satu minggu kemudian, tak tahan menahan dan memendam gejolak yang timbul dalam dada, aku pun mencoba menumpahkan segalanya pada orang yang telah mampu menciptakan perasaan itu dalam diriku.
Ketika ku coba untuk mengutarakan perasaanku pada Baiq Mandalika, ternyata semuanya tak sia – sia. Gayung cintaku tersambut. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Hingga akhirnya aku dan Baiq Mandalika pun menjalin hubungan asmara. Namun hubungan yang jelas – jelas dilakukan secara sembunyi – sembunyi. Aku tidak ingin Amaqku tahu tentang hubunganku dengan Baiq Mandalika. Sebab, beberapa waktu silam Amaq sudah memperingatkanku agar tak menaruh perasaan lebih pada Baiq Mandalika. Namun harus bagaimana lagi, jika hati sudah terpaut, perasaan pun tak bisa dipungkiri.
Begitu juga dengan Baiq Mandalika, aku melarangnya menceritakan hubungan ini pada Mamiqnya. Aku tahu, Mamiq Mandalika pasti tidak menyetujui hubungan kami, disebabkan oleh jurang derajat pemisah yang begitu dalam.
***
Sebulan kemudian menjalani hubungan secara rahasia, akhirnya Amaqku dan Mamiq Mandalika tahu juga dengan hubungan kami.
Jelas sajalah apa yang terjadi. Baik aku maupun Mandalika diwanti – wanti oleh orang tua masing – masing.
“Baiq Mandalika, dengarkan Mamiq. Mamiq tidak setuju kalau kamu menjalin hubungan dengan Mustafa. Dia itu hanyalah seorang anak tukang kebun di sini. Di luar sana masih begitu banyak pemuda yang lebih terhormat dari dia. Pilih saja sesuka hatimu. Mamiq pasti akan merestui hubungan kalian. Asal satu catatan, kamu tidak boleh berhubungan dengan Mustafa. Lagipula dia hanyalah keturunan dari masyarakat biasa tanpa gelar kebangsawanan satu pun melekat di depan namanya”, begitulah wanti - wanti yang biasa diterima oleh Baiq Mandalika. Sementara itu Baiq Mandalika pun hanya bisa menangis.
Demikianlah yang aku ketahui, sebab Baiq Mandalika seringkali bercerita padaku tentang wanti – wanti yang biasa dilontarkan oleh mamiqnya.
Kejadian yang dialami Baiq Mandalika pun tak berbeda jauh dengan yang aku alami. Amaq juga sering mewanti – wantiku agar tak lagi berhubungan dengan Baiq Mandalika.
“Amaq sudah tidak mau lagi mendengar bahwa kamu dan Baiq Mandalika masih mempunyai hubungan. Lebih baik cari gadis lain yang sederajat dengan kita. Baiq Mandalika itu terlalu tinggai untuk kau raih , anakku. Ia seoraang keturunan bangsawan, sementara kau sendiri hanyalah keturunan dari kalangan masyarakat biasa”, itulah wanti – wanti yang biasa ku terima dari Amaq.
Aku dan Baiq Mandalika sudah berpuluh – puluh kali diperingati oleh orang tua masing – masing agar tak lagi saling mencintai dan menjalin hubungan asmara. Namun rupanya cintaku dengan Baiq Mandalika begitu kuat hingga badai sebesar apapun datang melanda, cinta kami takkan peernah goyah. Peringatan dari orang tua masing – masing kami acuhkan. Kami tetap menjalni hubungan asmara ini dengan harmonis. Dengan tetap berharap semoga kelak hubungan kami pun direstui.
Lima bulan kemudian…
Menjalin hubungan dengan kekangan dari orang tua sungguh sautu beban yang berat. Namun aku dan Baiq Mandalika akan terus mencoba mempertahankan hubungan ini.
Dan hingga kini pun hubungan itu tetap kami pegang erat.
Akh… semilir angin pantai menerpa wajahku. Membuyarkan lamunan alam ingatan tentang flash back kejadian lima bulan lalu, awal aku bertamu Baiq Mandalika hingga kini ia menjadi kekasih hatiku. Duduk bersanding berdua denganku di bibir pantai Senggigi menikmati panorama keindahan alam ciptaan Tuhan.
“Mustafa, Baiq Mandalika”, sebuah suara memanggil namaku dan Baiq Mandalika. Suara itu suara yang begitu ku kenal. Suara Amaq.
Serentak, aku dan Baiq Mandalika pun menoleh, dan benar saja, Amaq sudah berdiri di belakang kami.
“Mustafa, ikut Amaq pulang. Ajak Baiq Mandalika ikut serta” , tanpa menunggu lama Amaq melontarkan kalimat tadi. Aku dan Baiq Mandalika bingung denagan sikap Amaq. Namun kami pun hanya bisa mengekor dari belakang, mengikuti perintah Amaq.
Sesampai di rumah, tanpa kami sangka sebelumnya ternyata Mamiq Mandalika juga sudah ada di dalam rumah. Aku kaget bukan kepalang. Di otakku telah timbul pikiran – pikiran miring tentang sesuatu yang akan terjadi. Pastinya kami akan diwanti habis – habisan dan akan dipisahkan untuk selamanya. Akh…aku tak bisa membayangkan jika harus kehilangan Baiq Mandalika.
Begitu pula perubahan raut wajah yang sempat ku perhatikan pada Baiq Mandalika. Wajahnya terlihat pusat pasi dan ia juga nampak sedikit gemetaran. Mungkin pikiran yang saat ini berkecamuk dalam pikiranku juga berkecamuk di alam pikirannya.
“Mustafa, Baiq Mandalika, duduklah”, Amaq mempersilahkan kami berdua duduk.
Amaq pun kemudian melanjutkan.
“Mustafa, Baiq Mandalika. Sebelumnya Amaq ingin minta maaf pada kalian jika akan menceritakan suatu hal pada kalian. Hal yang sudah seharusnya kalian ketahui”, Amaq mengucapkan kata – kata tadi dengan penuh kerahasiaan.
Amaq kemudian membuka kotak kayu kecil berukiran khas Lombok. Isi dalam kotak itu adalah sepasang kalung bertali hitam dan barbando berbentuk huruf ‘V’ terbalik. Sepertinya bando kalung itu terbuat dari magnet. Amaq mencoba menyatukan kedua kalung tersebut. Ternyata perpaduan bando kedua kalung yang tadi disatukan Amaq membentuk huruf ‘M’.
Baru kemudian Amaq mulai bercerita
“Tujuh belas tahun lalu, tepat saat bulan purnama, Amaq dikaruniai dua orang anak kembar. Kedua anak kembari tulah yang memiliki kalung ini. Kemudian ada seorang saudagar kaya yang belum dikaruniai seorang momongan pun walau sudah menikah selama sepuluh tahun. Ia begitu berhasrat untuk memilki seorang anak. Walau mungkin harus mengasuh anak angkat.
Saat mengetahui Amaq dikaruniai dua orang anak kembar, saudagar tadi datang pada Amaq untuk meminta salah seorang dari anak kembar yang Amaq milki. Setelah satu minggu dipikir – pikir akhirnya Amaq manyetujui juga keinginan saudagar tadi. Amaq pun akhirnya memberikan salah seorang dari anak kembar yang Amaq miliki.
Bukan tidak ada alasan yang mendasar mengapa Amaq rela salah satu anak Amaq dijadikan sebagai anak angkat oleh saudagar tadi. Keadaan ekonomi, itulah alasan paling mendasar. Amaq tidak sanggup jika harus mananggung biaya hidup kedua anak tadi hingga besar. Penghasilah Amaq waktu itu juga masih tak seberapa. Lagipula Amaq juga ingin salah satu dari Amaq anak bisa merasakan hidup bahagia menikmati kemewahan, itulah sebabnya Amaq rela anak Amaq dijadikan sebagai anak angkat oleh saudagar yang kaya, dengan harapan agar ia bisa hidup mewah dan serba berkecukupan.
Sebenarnya, saat mengangkat salah satu anak Amaq, saudagar tadi menawarkan sebuah rumah dan beberapa petak sawah sebagai tanda terima kasih, namun Amaq menolaknya dengan halus. Amaq justru minta untuk dipekerjakan di rumah saudagar tadi agar Amaq tetap bisa memantau dan melihat keadaan anak Amaq yang ada pada saudagar. Satu lagi permintaan Amaq pada saudagar tadi, Amaq hanya minta agar anak Amaq dirawat dan dijaga baik – baik serta mengakuinya sebagai anak kandungnya sendiri.”, Amaq sempat meneteskan air mata menceritakan kisah tadi.
Pikiranku galau, bukankah aku anak Amaq?, secara otomatis tentu anak kembar yang Amaq ceritakan tadi adalah aku. Lantas dimana saudara kembarku?. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam dadaku.
“Mustafa, Baiq Mandalika, kami berdua sebagai orang tua melarang hubungan asmara yang kalian jalin sebenarnya bukanlah semata - mata beralasan karena stratifikasi sosial di antara kalian. Melainkan suatu hal. Dan hal inilah yang sekarang harus kalian ketahui.
Mustafa, Baiq Mandalika, maaf jika Amaq pernah melarang keras hubungan kalian. Sebab, jika tidak dilarang, maka Amaq pulalah yang akan menanggung dosa dan murka Tuhan. Sebelumnya, mungkin rahasia ini tidak akan pernah Amaq buka dan ceritakan pada kalian seandainya saja kalian tidak bersikeras melanjutkan hubungan kalian.
Mustafa, Baiq Mandalika, anak kembar yang tadi Amaq ceritakan adalah kisah kalian berdua. Itulah sebabnya Amaq dan Mamiq menentang keras hubungan asmara yang kalian jalin. Alasannya bukan semata - mata karena perbedaan sosial. Hentikan sampai disini hubungan kalian sebagai sepasang kekasih tetapi lanjutkan sebagai sepasang adik kakak, karena kalian adalah saudara kembar, kalian adalah anak - anakku”, Amaq mengakhiri ucapannya.
Mendengar penjelasan Amaq tadi, jelas saja aku dan Baiq Mandalika terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang kami dengar. Aku belum siap memutar hatiku dari mencintai Baiq Mandalika sebagai kekasih kemudian sekarang akan menjadi saudara, adik kembaranku. Begitu pulalah yang mungkin dirasakan Baiq Mandalika. Sepintas ku perhatikan butiran bening mengalir dari kelopak matanya membentuk aliran sungai kecil dikedua pipinya.
“Kakak”, tiba – tiba Baiq Mandaika memelukku seraya melontarkan panggilan kakak padaku.
Ku sambut pelukannya, bukan pelukan kepada seorang kekasih, tetapi mencoba memutar haluan hatiku, memeluknya sebagai seorang saudara kembarku. Aku harus mencoba membunuh perasaanku padanya sebagai seorang kekasih.
“Adikku”, bisikku ditelinganya.
***
Keterangan :
Dedare : dalam bahasa sasak berarti ‘gadis’
Sasak : suku asli pulau Lombok
Amaq : dalam bahasa sasak berarti ‘bapak’ (panggilan Amaq khusus untuk masyarakat non bangsawan/ masyarakat biasa di kalangan masyarakat sasak )
Bebaleq : rumah kecil beratap rumbia atau ilalang, berada di pinggiran petak sawah. Berfungsi sebagai tempat peristirahatan para petani setelah lelah bekerja di sawah
Tuaq : dalam bahasa sasak berarti ‘paman’
Mamiq : dalam bahasa sasak berarti ‘bapak’ (panggilan Mamiq khusus untuk masyarakat bangsawan di kalangan masyarakat sasak)
0 comments:
Post a Comment