BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisme dapat digolongkan berdasarkan sumber energi karbonnya. Hal ini
disebabkan karena karbon merupakan bahan paling mendasar yang diperlukan oleh
organisme. Meskipung energi terdapat dalam beberapa bentuk, namun hanya dua
bentuk energi yang sesuai sebagai sumber energi bagi organisme hidup, yaitu
energi cahaya dan energi kimia. Organisme yang menggunakan energi cahaya untuk
mensintesis keperluan organiknya disebut fototrof atau fototrofik, sedangkan
organisme yang menggunakan energi kimia disebut kemotrof atau kemotrofik.
Fototrof mempunyai karakteristik yaitu adanya pigmen, termasuk beberapa untuk
klorofil, yang menyerap energi-energi cahaya menjadi energi kimia. Istilah lain
untuk fototrofisme adalah fotosintesis.
Pada
pengelompokan organisme berdasarkan sumber karbon anorganik yaitu
karbondioksida (CO2) organismenya disebut autotrof atau autotrofik,
dan yang sumber karbonnya organik disebut heterotrof atau heterotrofik. Berbeda
dengan heterotrof, autotrof mensintesis keperluan organiknya dari bahan-bahan
organik sederhana.
Kelompok
yang penting adalah kelompok organisme fotoautotrofik termasuk ganggang
biru-hijau, bakteri sulfur hijau, bakteri sulfur lembayung/ungu, dan semua
tumbuhan hijau; organisme kemoheterotrofik, termasuk semua hewan, jamur,
sebagian besar bakteri dan beberapa tumbuhan parasit.
Semua
kehidupan di bumi ini bergantung kepada fotosintesis baik langsung maupun tidak
langsung. Fotosisntesis menyediakan baik karbon maupun energi bagi organisme
hidup dan menghasilkan oksigen dalam atmosfer yang penting bagi semua bentuk
kehidupan aerobik. Manusia juga bergantung pada fotosintesis untuk bahan bakar
fosil mengandung energi yang dibentuk jutaan tahun lalu.
Beberapa
faktor yang mempengaruhi kecepatan fotosintesis yaitu faktor luar dan faktor
dalam, yang termasuk faktor luar meliputi: konsentrasi karbondioksida (CO2),
persediaan air, intensitas cahaya, dan suhu. Sedangkan yang termasuk faktor
dalam meliputi resistensi di dalam daun terhadap difusi gas bebas dan penimbunan
hasil fotosintesis. Secara kimia proses menyeluruh fotosintesis merupakan
reaksi oksidasi-reduksi. Pada fotosintesis, air adalah donor elektron dan CO2 adalah
akseptor elektron. Karena
itu, pada dasarnya fotosíntesis adalah fotoreduksi CO2.
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang di atas, maka dapat kami rumuskan suatu masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana prinsip penyerapan oleh cahaya?
2. Mengapa fotosintesis
dikatakan sebagai reaksi oksidasi-reduksi?
3. Apakah Fotosistem I
(PS I) dan Fotosistem II (PS II) itu?
4. Bagaimana proses
fotofosforilasi itu?
C.
Tujuan
Dari
uraian latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui prinsip
penyerapan oleh cahaya
2. Untuk mengetahui fotosintesis
dikatakan sebagai reaksi oksidasi-reduksi
3. Untuk mengetahui
Fotosistem I (PS I) dan Fotosistem II (PS II)
4. Untuk mengetahui
proses fotofosforilasi
D.
Manfaat
Manfaat
dari penulisan makalah ini adalah sebagai bahan informasi bagi kita tentang
proses-proses yang terjadi selama fotosintesis dan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi terjadinya fotosintesis pada tumbuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip Penyerapan Cahaya
oleh Tumbuhan
Untuk
mengetahui bagaimana cahaya menyebabkan terjadinya fotosintesis, perlu
diketahui terlebih dahulu sifat-sifat cahaya. Cahaya memiliki sifat gelombang (wave nature). Cahaya mencakup bagian
dari energi matahari dengan panjang gelombang antara 390 nm sampai 760 nm dan
tergolong cahaya tampak. Kisaran ini merupakan porsi kecil dari kisaran
spektrum elektromagnetik.
Sifat cahaya sebagai partikel
biasanya diekspresikan dengan pernyataan bahwa cahaya menerpa sebagai foton
atau kuanta, yang merupakan merupakan suatu paket diskrit dari energi, dimana
masing-masing dikaitkan dengan panjang gelombang tertentu. Energi dalam tiap
foton berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Cahaya biru dan ungu dengan
gelombang yang lebih pendek memiliki lebih banyak foton energetik dibanding
cahaya merah atau jingga dengan gelombang yang lebih panjang.
Prinsip dasar penyerapan cahaya
adalah bahwa setiap molekul hanya dapat menyerap satu foton pada waktu tertentu
dan foton ini menyebabkan terjadinya eksitasi pada satu elektron dalam suatu
molekul. Prinsip ini disebut Hukum Stark-Einstein. Elektron valensi yang berada
pada orbit dasar yang stabil merupakan elektron yang biasanya tereksitasi dan
didorong menjauhi inti (yang bermuatan positif) dengan jarak yang sebanding
dengan jumlah energi foton yang diserap. Molekul-molekul pigmen yang telah menangkap foton akan berada pada kondisi
tereksitasi. Energi inilah yang dimanfaatkan untuk fotosintesis.
Klorofil dan pigmen-pigmen lainnya
hanya dapat berada pada kondisi tereksitasi dalam waktu singkat, umumnya hanya
selama 10-9 detik atau lebih singkat. Energi eksitasi dapat hilang
karena dibebaskan dalam bentuk panas pada waktu elektron kembali ke orbit
dasar. Kehilangan energi eksitasi ini dari molekul pigmen (termasuk klorofil)
dapat dalam bentuk kombinasi antara panas dan cahaya fluoresen (fluorescence). Fluoresen adalah pancaran
cahaya yang diikuti oleh degradasi cepat dari elektron tereksitasi. Fluoresen
asal klorofil berupa cahaya merah-dalam (deep-red)
dan cahaya dengan gelombang panjang ini gampang terlihat jika klorofil a atau b
atau campuran keduanya menerima cahaya, terutama cahaya biru atau ultra ungu.
Pada daun, fluoresen sangat sedikit karena energi eksitasi dimanfaatkan untuk
fotosintesis.
Cahaya biru selalu kurang efisien
pemanfaatannya untuk fotosintesis dibandingkan cahaya merah. Hal ini disebabkan
karena setelah eksitasi dengan foton dari cahaya biru, elektron selalu
terdegradasi dengan sangat cepat ke tingkat energi yang lebih rendah dengan
membebaskan panas. Setelah pembebasan panas, tingkat energi foton dari cahaya
biru tadi akan sama dengan tingkat energi yang diterima dari foton yang berasal
dari cahaya merah saat pertama diserap. Dari tingkat energi ini, kehilangan
dapat terjadi melalui panas, fluoresen, atau digunakan untuk fotosintesis.
Untuk terjadinya fotosintesis,
energi dalam bentuk elektron yang tereksitasi pada berbagai pigmen harus
disalurkan ke pigmen pengumpul energi yang disebut sebagai pusat reaksi (reaction center). Terdapat dua macam
pusat reaksi pada membran thilakoid, keduanya merupakan molekul klorofil a yang
berasosiasi dengan protein tertentu dan komponen-komponen membran lainnya.
Energi pada pigmen yang tereksitasi dapat pindah ke pigmen tetangganya. Proses
ini berlangsung secara simultan sampai energi tersebut ditransfer ke pusat
reaksi. Ada beberapa teori untuk menjelaskan migrasi energi dari satu pigmen ke
pigmen lainnya yang berdekatan. Salah satu teori tersebut adalah Teori
Resonansi Induktif. Dengan adanya kemampuan pigmen untuk mentransfer energi
eksitasi, maka setiap suatu pigmen tereksitasi sehingga energi eksitasi tersebut
dapat diharapkan untuk sampai pada pusat reaksi.
Daun dari kebanyakan spesies
menyerap lebih dari 90% cahaya ungu dan biru, demikian pula untuk cahaya jingga
dan merah. Hampir seluruh penyerapan ini dilakukan oleh pigmen-pigmen pada
kloroplas. Pada membran thilakoid, setiap foton dapat mengeksitasi satu
elektron dari pigmen karotenoid atau klorofil. Klorofil berwarna hijau
merupakan bukti bahwa pigmen ini tidak efektif untuk menyerap cahaya hijau.
Cahaya hijau oleh klorofil dipantulkan atau diteruskan. Penyerapan relatif
untuk setiap panjang gelombang oleh pigmen dapat diukur dengan
spektrofotometer. Grafik penyerapan cahaya untuk kisaran panjang gelombang
tertentu disebut spectrum serapan.
Beberapa karotenoid pada membran
thilakoid juga mengirim energi eksitasinya ke pusat rekasi yang sama dengan
klorofil. Secara in vitro,
pigmen-pigmen yang berwarna kuning ini hanya menyerap cahaya biru dan ungu.
Cahaya hijau, kuning, jingga, dan merah dipantulkan oleh kedua pigmen ini.
Kombinasi panjang gelombang yang dipantulkan oleh kedua pigmen karotenoid ini
tampak berwarna kuning. Ada bukti yang menunjukkan bahwa beta-karoten lebih
efektif dalam mentransfer energi ke kedua pusat reaksi disbanding lutein atau
pigmen xanthofil yang disebut focoxanthofil adalah sangat efektif dalam
mentransfer energi. Di samping berperan sebagai penyerap cahaya, karotenoid
pada thilakoid juga berperan untuk melindungi klorofil dari kerusakan oksidatif
oleh O2 jika intensitas cahaya sangat tinggi.
Dalam membandingkan pengaruh
berbagai panjang gelombang cahaya terhadap laju fotosintesis, harus
diperhatikan untuk tidak memberikan energi dalam jumlah yang berlebihan
sehingga proses tersebut jenuh. Pola
laju fotosintesis pada kisaran panjang gelombang cahaya tampak disebut spektrum
aksi. Spektrum aksi untuk fotosintesis dan untuk proses fotobiologi lainnya
akan membantu identifikasi pigmen apa yang terlibat, karena spektrum aksi
sepadan dengan spektrum serapan dari suatu pigmen. Pada beberapa ganggang,
karotenoid dan pigmen fikobilin dapat menyerap cahaya untuk fotosintesis.
Spektrum aksi dari ganggang ini agak berbeda dengan pada tumbuhan tingkat
tinggi.
Aksi
dari cahaya hijau dan kuning yang menyebabkan fotosintesis pada tumbuhan
tingkat tinggi dan penyerapan panjang gelombang ini oleh daun sebenarnya
relatif tinggi, lebih tinggi dari yang ditampakkan pada spektrum serapan
klorofil dan karotenoid. Tetapi, bukan berarti bahwa ada pigmen lain yang
berperan menyerap cahaya tersebut. Alasan utama mengapa spektrum aksi lebih
tinggi dari spektrum serapan adalah karena cahaya hijau dan kuning yang tidak
segera diserap akan dipantulkan berulang-ulang di dalam sel fotosintetik sampai
akhirnya diserap oleh klorofil dan menyumbangkan energi untuk fotosintesis.
Penggabungan
molekul klorofil a menjadi dimer atau trimer atau asosiasinya dengan
protein-protein thilakoid menyebabkan puncak serapan tambahan terjadi pada
gelombang cahaya merah. Dua dari puncak serapan tambahan yakni pada 680 nm dan
700 nm, berhubungan dengan serapan oleh molekul klorofil a khusus yang berperan
sebagai pusat reaksi. Pusat reaksi inilah yang disebut sebagai P680
dan P700.
B.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kecepatan Fotosintesis
Untuk
dapat mengerti bagaimana berbagai faktor berpengaruh terhadap kecepatan
fotosintesis, perlu dipelajari suatu pengetahuan tentang apa yang disebut oleh
F.F. Blackman sebagai prinsip ” faktor pembatas”. Peneliti-peneliti terdahulu
yang menyelidiki kecepatan fotosintesis mempelajari tiap faktor secara
terpisah, tanpa menghiraukan pengaruh faktor-faktor lain. Karena itu tidak
mengherankan bahwa para peneliti yang secara terpisah menyelidiki efek suatu
faktor tertentu yang sama, kadang-kadang memperoleh hasil sangat berlainan.
Keadaan yang kacau ini tidak terpecahkan sampai tahun 1905, ketika F.F. Blackman
mengajukan prinsip faktor pembatas sebagai berikut: ”Jika kecepatan suatu
proses dipengaruhi oleh sejumlah faktor terpisah, kecepatan proses itu dibatasi
oleh langkah faktor yang paling lambat”.
Sehingga
dengan demikian, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan fotosintesis
yaitu faktor luar dan faktor dalam.
1.
Faktor-faktor Luar
- Konsentrasi Karbondioksida (CO2)
Pada konsentrasi CO2
rendah maka kecepatan fotosintesis hampir sebanding dengan konsentrasi CO2.
Hal ini menyatakan bahwa pada konsentrasi rendah hampir seluruh CO2
mengatur kecepatan proses fotosintesis. Jika konsentrasi CO2
dinaikkan, peningkatan kecepatan turun dengan cepat, sampai dicapai kecepatan
maksimum kira-kira pada konsentrasi 1%, di atas angka ini kecepatan akan
konstan pada suatu kisaran lebar dari konsentrasi CO2.
- Persediaan Air
Persediaan air yang kurang memadai
dalam tumbuhan akan mengakibatkan pengurangan kecepatan fotosintesis secara
drastis. Hal ini disebabkan karena kekurangan air akan menyebabkan dehidrasi
protoplasma, jadi perubahan pada struktur koloid itulah yang mempengaruhi semua
atau sebagian besar proses metabolisme pada tumbuhan.
- Intensitas Cahaya
Hubungan antara intensitas cahaya
dan fotosintesis sama dengan hubungan antara CO2 dan fotosíntesis.
Hanya pada intensitas cahaya sangat rendah tidak ada fotosíntesis yang dapat
dideteksi melalui metode baku analisis gas, sebab pada keadaan demikian
pertukaran gas pada fotosíntesis lebih kecil daripada pada respirasi. Di atas
titik kompensasi, maka peningkatan intensitas cahaya pada permulaan akan
menyebabkan kenaikan sebanding dengan kecepatan fotosintesis, akan tetapi pada
intensitas cahaya sedang, peningkatan kecepatan mulai menurun sampai pada
intensitas cahaya yang tinggi, kecepatan menjadi konstan. Pada intensitas
cahaya tinggi seperti itu tumbuhan dikatakan jenuh cahaya.
Intensitas cahaya yang menyebabkan
tumbuhan jenuh cahaya jelas bergantung pada tingkatan faktor lain yang
mempengaruhinya, akan tetapi walaupun factor tersebut bukan factor pembatas,
kebanyakan tumbuhan akan jenuh cahaya pada intensitas di bawah cahaya matahari
penuh. Ini berarti bahwa hanya pada pagi hari dan pada hari yang mendung saja
intensitas cahaya itu akan menjadi faktor yang terutama berpengaruh terhadap
kecepatan fotosíntesis di alam.
- Suhu
Kisaran suhu yang memungkinkan
fotosintesis sangat bervariasi pada berbagai tumbuhan, tetapi untuk sebagian
besar tumbuhan di daerah tropik kisarannya sekitar 5-400C. Dengan
intensitas cahaya dan konsentrasi CO2 bukan sebagai pembatas, maka
kecepatan fotosintesis pada kebanyakan tumbuhan tropik meningkat dari satu suhu
minimum. Suhu di atas 400C menyebabkan kerusakan sementara atau
kerusakan permanen protoplasma, yang mengakibatkan menurunnya kecepatan
fotosintesis. Makin tinggi suhu dan makin lama dikenai suhu tinggi itu, maka
makin cepat pula penurunan kecepatan fotosintesisnya.
2.
Faktor-faktor Dalam
- Resistensi di dalam daun terhadap difusi gas bebas.
Karena kutikula yang menutup bagian
terbukayang berada di atas tanah nyaris kedap gas, maka CO2 yang
diperlukan untuk fotosintesis harus masuk melalui stomata sebelum mencapai
kloroplas tempat terjadinya fotosintesis. Karena itu, hal apa pun pada jalur
ini yang mengganggu difusi gas dari atmosfer ke tempat penambatan CO2
akan mempengaruhi kecepatan sintesis dengan cara membatasi penyediaan CO2
ke permukaan kloroplas. Pada umumnya dianggap bahwa akan terjadi sedikit
resistensi dari ruang udara antarsel terhadap difusi gas bebas, akan tetapi
resistensi yang sangat besar akan ditimbulkan oleh dinding yang jenuh air dan
sitoplasma yang memisahkan ruang antarsel dari kloroplas. Namun, asalkan
stomata terbuka, jalur resistensi total dianggap kecil saja, sebab sebagian
jalur tempat terdifusinya CO2 ke dalam larutan sangat pendek.
Kecuali bagi stomata, resistensi yang terjadi pada daun tertentu disebabkan
oleh berbagai sifat jalur yang kurang lebih konstan, karena resistensi ini
bergantung pada struktur anatomi daun.
Oleh karena itu, praktisnya
stomatalah yang menjadi satu-satunya faktor resistensi yang dapat secara aktif
mengubah kecepatan fotosintesis dalam tumbuhan. Jika stomata tertutup maka
difusi CO2 ke dalam daun sebenarnya terhalang, dan jika stomata
hampir tertutup maka stomata itu menimbulkan resistensi sedemikian besarnya
sehingga dapat memperlambat pemasukan CO2 ke dalam daun. Jadi semua
faktor yang mempengaruhi gerakan stomata akan mempunyai efek tak langsung
terhadap kecepatan fotosintesis.
- Penimbunan hasil fotosintesis.
Menurut hukum Rekasi Massa, kecepatan
suatu reaksi kimia menurun jika hasil reaksi itu tertimbun, sehingga dapat
diharapkan bahwa fotosintesis aktif akan terhalang ketika hasil reaksi mulai
tertimbun. Namun ada dua proses yang menyertai fotosintesis yang cenderung
untuk menghalangi proses fotosintesis itu. Pertama, adanya translokasi sinambung hasil
fotosintesis yang dapat larut dan keluar dari daun ke bagian lain tumbuhan. Kedua,
kelebihan hasil sering disimpan sementara sebagai molekul yang tidak dapat
larut (misalnya pati) di dalam kloroplas.
C.
Fotosintesis sebagai Reaksi
Oksidasi-Reduksi
Secara kimia proses menyeluruh
fotosintesis merupakan reaksi oksidasi-reduksi yang tipenya dapat dinyatakan
sebagai berikut:
A
+ H2B à H2A + B
(akseptor
elektron) (donor
elektron) (akseptor tereduksi) (donor teroksidasi)
Pada fotosintesis, air adalah donor
elektron dan CO2 adalah akseptor electrón. Karena itu, pada dasarnya
fotosíntesis adalah fotoreduksi CO2. Persamaannya adalah sebagai
berikut:
CO2
+ H2O à (CH2O)
+ O2 ………………………………………… (1)
Peneliti-peneliti
terdahulu mula-mula beranggapan bahwa selama proses fotosíntesis O2
yang dihasilkan berasal dari penguraian CO2. Anggapan ini ternyata
salah, estela hasil yang diperoleh van Niel (1931) yang meneliti bakteri hijau
belerang yang melakukan fotosíntesis yang mengasimilasi CO2 dengan
menggunakan hidrogen sulfita (H2S) sebagai sumber hidrogen menurut
persamaan berikut:
CO2
+ H2S à (CH2O) + H2O + 2S
…………………………………. (2)
Pada
persamaan reaksi ini tidak dihasilkan O2, yang berarti bahwa CO2
tidak diuraikan tetapi dihasilkan 2S hasil penguraian H2S. jadi O2
yang dihasilkan pada reaksi (1) berasal dari penguraian H2O,
sehingga sebagai analog persamaan (1) dapat ditulis sebagai berikut:
CO2 + 2 H2O à (CH2O) + H2O + O2
………………………………. (3)
Bukti
yang meyakinkan dari pembenaran alasan van Niel ditunjukkan oleh Ruben dan
Kamen (1941) dengan menggunakan H2O* (O*=isotop
O18) sebagai berikut:
CO2 + H2O* + H2O* à (CH2O)
+ H2O + O2 …………………….... (4)
|
H2O H2
+ ½ O2
klorofil
H2 ditangkap oleh suatu akseptor (A)
membentuk AH2 yang akan digunakan un tuk menfiksasi CO2.
Sinar matahari
H2O + A AH2
+ ½ O2
klorofil
Sinar matahari
2 H2O + 2
A
2 AH2 + O2
Klorofil
Reaksi ini
disebut reaksi Hill. Hill menunjukkan bahwa fragmen-fragmen daun atau kloroplas
mampu melepaskan oksigen kalau ekstrak disuplai dengan akseptor hidrogen. Ini
telah diketahui bahwa akseptor hidrogen dalam tumbuhan adalah senyawa NADP.
Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa fotosintesis terdiri dari dua
fase yaitu:
1.
Fase I: reaksi fotokimia, reaksi
fotolisis, reaksi fotofosforilasi, reaksi cahaya, reaksi Hill. Reaksi ini
menghasilkan ATP dan NADPH 2.
2.
Fase II: reaksi termokimia
(fiksasi CO2) berlangsung dalam gelap kemudian dibantu oleh
enzim-enzim yang terdapat pada stroma dan membutuhkan ATP dan NADPH 2 yang
dihasilkan pada fase I.
D. Komposisi, Fungsi dan
Posisi PS I dan PS II
Kedua fotosistem dapat dipisahkan
dari membran thilakoid jika kloroplas yang telah diisolasi diberi perlakuan dengan menggunakan detergen lunak (mild detergent) yang sesuai. Kemudian kedua
fotosistem ini dapat dipisah dengan teknik elektroforesis dengan menggunakan
gel poliakrilamida. Hasil analisis menunjukkan bahwa PS I mengandung mengandung
klorofil a, sedikit klorofil b dan beberapa beta-karoten yang menyatu dengan
beberapa protein dengan ikatan non-kovalen. Satu dari klorofil a pada PS I
menjadi spesial karena lingkungan kimianya sehingga dapat menyerap cahaya
dengan panjang gelombang + 700 nm, selain gelombang yang lebih pendek. P700
inilah merupakan pusat reaksi dari PS I dan semua pigmen-pigmen lainnya akan
mengirim energi eksitasinya ke P700 ini.
Pada
PS I juga dijumpai paling tidak 2 molekul protein yang mengandung Fe dan mirip dengan
feredoksin. Feredoksin berperan membawa elektron dari protein Fe-S lainnya pada
PS I menuju NADP+, melengkapi proses pengankutan elektron secara
keseluruhan. Setiap 4 atom Fe pada molekul protein ini mengikat 2 atom
belerang, sehingga disebut sebagai protein Fe-S. Protein Fe-S berbeda dengan
sitokhrom dan protein lainnya yang mengandung satu atom Fe yang terikat pada
gugus heme. Protein Fe-S merupakan penerima elektron utama pada PS I, berarti
bahwa elektron mula-mula ditransfer dari P700 ke salah satu protein
Fe-S ini. Hanya satu dari 4
atom Fe tersebut yang akan mampu menerima elektron. Karena penerimaan elektron
ini, Fe3+ direduksi menjadi Fe2+, tetapi dapat
teroksidasi kembali dalam lintasan pengangkutan elektron.
PS
II juga mengandung klorofil a dan beta-karoten (terikat pada 2 protein utama)
serta sedikit klorofil b. Pusat reaksinya disebut P680, yang
merupakan satu molekul klorofil a dengan lingkungan kimia yang berbeda dengan P700
dan klorofil a lainnya. Pada PS II juga terdapat penerima elektron utama yang
diyakini merupakan klorofil a yang tidak berwarna dan tidak mengandung atom Mg
yang biasa disebut dengan feolitin (disingkat ”Pheo”). PS II juga mengandung
”quinone” yang erat asosiasinya dengan Pheo, P680 dan protein yang
terikat pada P680. Quinone (Q) mampu untu melenyapkan cahaya
fluoresen dari P680 dengan cara menerima elektron yang telah
dieksitasi. Pada PS II juga terkandung satu atau lebih protein yang mengandung
Mangan dan disebut sebagai protein-Mn. Diperkirakan 4 ion Mn2+
diikat oleh satu atau lebih protein pada PS II dan satu ion Cl-
menjembatani 2 ion Mn2+ tersebut. Dalam proses pengangkutan elektron,
Mn2+ akan teroksidasi menjadi Mn3+ dan kemudian direduksi
kembali. Proses oksidasi dan reduksi Mn ini berlangsung berulang-ulang. Protein-Mn
merupakan komponen bagian dalam membran thilakoid dan dekat dengan saluran
protein, serta mungkin terlibat langsung dalam awal oksidasi H2O.
Selain
kedua fotosistem di atas, dengan teknik elektroforesis 2 kompleks penangkap
cahaya (light harvesting complex)
dapat pula diisolasi dari kloroplas. Kompleks ini mengandung klorofil a dan b
serta xanthofil, tetapi sangat sedikit mengandung beta-karoten. Semua pigmen
ini terikat pada protein. Satu kompleks penangkap cahaya akan berperan mengirim
energi ke PS I dan satu kompleks lainnya mengirim energi ke PS II. Energi yang
diserap oleh pigmen-pigmen dalam kompleks ini akan ditransfer dan pada akhirnya
akan mencapai P700 atau P680.
Dua
pembawa elektron yang mobil akan berperan membawa elektron dari PS II ke PS I.
Salah satunya adalah molekul protein kecil yang mengandung Cu yang disebut PC (plastocianin). PC ini terikat tidak kuat
pada bagian dalam membran thilakoid dekat saluran protein. Bila tembaga yang
terkandung tereduksi dari Cu2+ menjadi Cu+ olleh PS II,
PC dapat bergerak menelusuri membran membawa elektron ke PS I dan pada PS I ini
Cu+ dioksidasi kembali menjadi CU2+. Kemudian PC kembali
ke PS II untuk mengambil elektron berikutnya. Pembawa elektron lainnya
merupakan quinone yang disebut PQ (plastoquinone).
PQ dapat bergerak secara lateral maupun vertikal dalam membran. PQ membawa 2
elektron dan 2 ion H+ dari PS II ke PS I. Kompleks Fe-S secara fisik
berada antara PS I dan PS II dan penting
peranannya dalam pengangkutan elektron antara kedua fotosistem ini.
E.
Fotofosforilasi
Pembentukan
ATP dari ADP dan Pi secara termodinamik tidak akan terjadi tanpa
bantuan energi cahaya. Oksidasi H2O dan PQH2
menyebabkan konsentrasi H+ di dalam saluran thilakoid (pH 5) dapat
menjadi 5000 kali lebih tinggi dibandingkan pada stroma (pH 8) selama
fotosintesis berlangsung. Perbedaan konsentrasi yang sangat besar ini menjadi
tenaga pendorong untuk difusi H+. Membran thilakoid sesungguhnya
tidak permeabel terhadap H+ dan ion-ion lain kecuali jika melalui CF
(coupling factor). Perbedaan pH
antara kedua sisi membran ini menyediakan energi kimia yang potensial dalam
memacu fotofosforilasi.
Ide bahwa perbedaan pH dapat
menyediakan energi untuk sintesis ATP dalam kloroplas, mitokondria, dan bakteri
diusulkan pertama kali oleh Peter Mitchell di Inggris tahun 1961. Teori
Mitchell disebut toeri khemiosmotik. Bukti langsung dari teori ini pertama
didapatkan oleh peneliti fotosintesis G. Hind dan Andre Jagendorf pada
Universitas Cornell pada tahun 1963.
Teori khemiosmotik juga menjelaskan
bagaimana uncoupler bekerja pada
proses fotofosforilasi. Diberi nama uncoupler
karena perannya menghilangkan keterkaitan antara pengangkutan elektron dengan
fosforilasi. Beberapa uncoupler ini telah
diketahui, antara lain adalah NH3 dan dinitrofenol. Uncoupler bergerak dalam saluran
thilakoid untuk mengikat H+ dan mengangkutnya ke sisi stroma membran
thilakoid dan kemudian membebaskan H+ tersebut. H+ yang
dibebaskan bersama OH- membentuk H2O. Aksi yang
berulang-ulang dari uncoupler ini
memperkecil perbedaan pH antara dua sisi membran thilakoid dan berarti
menghambat sintesis ATP. Sebaliknya, kondisi yang tercipta tersebut akan memacu
pengangkutan elektron karena secara termodinamik akan lebih mudah untuk
mengangkut H+ menyeberangi membran thilakoid dalam kaitannya dengan
oksidasi-reduksi PQ (plastoquinon).
Pembentukan ATP tambahan dapat berasal dari
lintasan elektron dan pengangkutan H+ yang tidak sepenuhnya terkait
dengan lintasan nonsiklik. Lintasan ini melibatkan PS I, ferredoksin, kompleks
sitokhrom b6 dan f, PQ dan PC (plastocianin),
tetapi tidak melibatkan PS II. Karena elektron dibawa dari P700 dan
akhirnya kembali lagi ke P700, maka lintasan ini disebut sebagai
Lintasan Pengangkutan Elektron Siklik. Penyerapan dua foton menyebabkan dua elektron
akan diangkut (berkeliling dari dan ke P700) dan menyebabkan dua H+
dihantar masuk ke saluran thilakoid sebagai hasil dari oksidasi PQH2.
tidak ada molekul air yang dipecah, karena PS II tidak terlibat dan juga tidak
ada NADPH yang terbentuk dari lintasan pengangkutan elektron ini, tetapi ATP
akan dihasilkan oleh CF sebagai akibat dari penurunan pH saluran membran
thilakoid. Pembentukan ATP melalui lintasan pengangkutan elektron siklik ini
disebut fotofosforilasi siklik.
Secara kuantitatif, jika 8 foton
terlibat untuk kedua fotosistem akan dihasilkan 8 H+ melalui
lintasan nonsiklik dan jika 4 foton lagi hanya diserap oleh PS I dan
menghasilkan 4 H+ tambahan, maka 12 foton tersebut akan menghasilkan
12 H+ di dalam saluran thilakoid. Jika 3 H+ dibutuhkan CF
untuk membentuk satu molekul ATP, maka 12 H+ cukup untuk mensintesis
4 molekul ATP. Dibutuhkan lebih dari 3 ATP untuk mengkonversi satu molekul CO2
menjadi karbohidrat dan pengukuran langsung pada daun menunjukkan bahwa 12
foton dibutuhkan untuk mereduksi setiap molekul CO2. Berdasarkan uraian ini, maka persamaan
fotosintesis dapat ditulis dengan menyertakan kebutuhan minimum 12 foton.
CO2
+ 2 H2O + 12 foton à (CH2O)
+ O2 + H2O
ATP
dan NADPH tidak dimasukkan pada persamaan fotosintesis di atas, karena
pembentukannya diimbangi dengan penggunaannya dalam reduksi CO2.
Protein dan asam nukleat membutuhkan lebih banyak ATP dibandingkan dengan
polisakarida. Protein dan asam nukleat ini lebih banyak terdapat pada sel-sel
yang aktif tumbuh dibandingkan dengan pada sel-sel dewasa. Pada sel-sel dewasa
lebih banyak polisakarida yang terkandung.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tumbuhan
sebagai salah satu komponen mahluk hidup, tentunya akan melakukan proses
kehidupan seperti pertumbuhan dan perkembangan. Proses hidup pertumbuhan tersebut, tentunya dilakukan oleh
struktur penyusun tubuh tumbuhan secara anatomis dan fisiologis. Proses fisiologi tumbuhan
yang sangat penting dalam penyediaan bahan organik sebagai bahan metabolisme
adalah proses fotosintesis. Kemampuan ini salah satunya dintentukan oleh
ketersedian cahaya untuk mampu melakukan eksitasi
elektron dalam proses fotosistem II yang akan didistribusikan kepada fotosistem
I. Elektron tersebut didapatkan dari hasil pemecahan unsur air, sehingga akan
dihasilkan adanya oksigen. Cahaya yang begitu penting diserap oleh klorofil
yang ada di organ daun dan di dalam organel sel yang namanya plastida. Spektrum
cahaya yang mampu diserap hanyalah cahaya yang tampak.
Anabolisme yang disebut fotosintesis tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat
eksternal. Kecepatan fotosintesis tentunya akan dinamis tergantung pada tingkat
pengaruh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal atau lazim dikatakan
faktor luar/lingkungan terdiri dari konsentrasi karbondioksida, persediaan air,
intensitas cahaya dan suhu. Meskipun demikian pentingnya faktor-faktor
tersebut, namun faktor yang berasal dari diri tumbuhan itupun (internal) tidak
kalah pentingnya yaitu seperti resistensi di dalam daun terhadap difusi gas
bebas, penimbunan hasil fotosintesis, lebar daun dan tebal daun.
2. Saran
Kami mengharapkan adanya proses
diskusi dalam perkuliahan akan lebih efektif dengan adanya makalah ini dan
tentunya suasan diskusipun diharapkan memberikan suasan pembelajaran yang lebih
konstruktif dan produktif.
Daftar Rujukan
Dardjat S, Siregar A H. 1990. Dasar-dasar
Fisiologi Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. hlm 18-32.
Loveless A R. 1991. Prinsip-Prinsip
Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
hlm: 48, 141, 148, 161-163.
Salisbury F B, Ross W R. F. 1992. Fisiologi
Tumbuhan Jilid 1. Bandung: Penerbit ITB Bandung. hlm 30-31.
0 comments:
Post a Comment